Sejarah
berdirinya Majapahit berawal dari runtuhnya Kerajaan singhasari akibat
pemberontakan yang dilancarkan oleh Jayakatwang yang merupakan keturunan dari
Raja Kertajaya yang merupakan penguasa terakhir kerajaan Kediri dan tahtanya
direbut oleh Ken Arok pendiri Kerajaan Singhasari.
Surya Majapahit
(Lambang Kerajaan Majapahit)
Dengan adanya
pemberontakan tersebut Prabu Kertanagara segera mengambil tindakan dengan
memerintahkan Raden Wijaya untuk menghalau serangan tentara Kadiri di desa
Memeling. Raden Wijaya di desa Mameling berhasil menumpas musuh. Setelah
berhasil menumpas musuh tentara Singosari kembali menuju ibukota, betapa
terkejutnya mereka ketika sampai di perbatasan sorak sorai tentara musuh yang
telah berhasil merusak keraton Singhasari. Raja Śri Kĕrtānegara gugur, kerajaan
Singhasāri berada di bawah kekuasaan raja Jayakatwang dari Kadiri. Raden Wijaya
berusaha menyelamatkan apa yang masih mungkin bisa diselamatkan, mereka dengan
gagah berani menyerbu kedalam istana, namun karena jumlah tentara kediri yang
begitu banyak maka usaha tersebut tidak berhasil.
Raden Wijaya
kemudian dikepung oleh patih Daha Kebo Mundarang sehingga akhirnya memutuskan
untuk mengundurkan diri. Raden wijaya dengan pengikutnya Lembu Sora, Gajah
Pagon, Medang Dangli, Malusa Wagal, Nambi, Banyak Kapuk, Kebo Kepetengan,
Wirota Wiragati dan Pamandana lari melintasi sawah yang baru habis dibajak.
Ketika hampir tertangkap oleh Patih Mundarang, Raden Wijaya memancal tanah
bajakan sehingga jatuh didada dan dahi ki Patih ,Raden Wijaya pun berhasil
lolos dari kejaran musuh.
Setelah
beristirahat sejenak Raden Wijaya kemudian membagi-bagikan celana gringsing
kepada pengikut-pengikutnya tiap orang sehelai dan diperintahkan untuk
mengamuk, Pada waktu menjelang malam ketika tentara Kediri sedang berpesta
pora, Raden Wijaya dan para pengikutnya kembali lagi masuk kedalam keraton
Singhasari. Putri Kertanegara yang bungsu yaitu Gayatri ditawan oleh musuh dan
dibawa ke Kediri sedangkan putri yang sulung yaitu Tribuaneswari berhasil
diselamatkan oleh Raden Wijaya. Atas nasehat Lembu Sora, Raden Wijaya bersama
Putri dan para pengikutnya kemudian mundur ke luar kota menuju arah utara
karena tidak ada gunanya melanjutkan perang yang pasti akan membawa kekalahan
karena jumlah tentara Kediri jauh lebih besar. Masih ada kira kira 600 orang
pengikut Raden Wijaya.
Arca Pertapa
Hindu Jaman Kerajaan Majapahit.
Raden Wijaya
bermaksud meneruskan perjalanan menuju ke Terung untuk minta bantuan kepada
Akuwu Terung Wuru Agraja yang diangkat sebagai akuwu oleh Mendiang Sri
Kertanegara, dengan harapan memperoleh bantuan untuk mengumpulkan orang di
sebelah timur dan timur laut Terung. Maka pengikut Wijaya menjadi gembira dan
pada malam harinya mereka berangkat ke barat melalui Kulawan yang telah
dijadikan benteng oleh musuh, di mana ia menjumpai musuh yang besar jumlahnya.
Raden Wijaya dikejar oleh musuh dan lari ke utara menuju Kembangsri (Bangsri),
di mana ia berjumpa lagi dengan musuh, hingga ia terpaksa bergegas mencebur ke
Bengawan dan menyeberanginya. Di sungai ini banyak prajuritnya yang tewas
terkena tumbak musuh. Banyak yang lari mencari hidup sendiri-sendiri sehingga
pengikutnya tinggal sedikit. Sesampainya di seberang sungai pengikut Wijaya
tinggal duabelas orang. Pada pagi hari rombongan Wijaya diketemukan oleh rakyat
Kudadu.
Disana Raden
Wijaya diterima dan dijamu ketua desa yang bernama Macan Kuping dengan kelapa
muda dan nasi putih. Raden wijaya sangat terharu atas sambutan tersebut . Gajah
Pagon yang menderita luka cukup parah di pahanya akhirnya ditinggal di Dusun
pandak, disembunyikan di tengah ladang. Raden Wijaya kemudian melanjutkan
perjalanan Ke Pulau Madura diantar sampai di daerah Rembang.
peta wilayah
kekuasaan Majapahit
Dalam Pararaton
dusun Pandak tidak disebut yang disebut ialah datar. Lempengan tembaga yang
terdapat di Gunung Butak di daerah Mojokerto yang dikeluarkan oleh Raden Wijaya
setelah menjadi Raja Majapahit terkenal dengan Piagam Kudadu sebagai ungkapan
terima kasih Raden Wijaya kepada ketua dusun kudadu yang pernah menerimanya
dengan ramah sebelum melanjukan perjalanan ke Madura. Berkat pertolongan Kepala
Desa Kudadu, rombongan Raden Wijaya dapat menyeberangi laut menuju Madura untuk
meminta perlindungan dari Arya Wiraraja, seorang Bupati Singhasari yang
ditempatkan di didaerah tersebut.
Raden Wijaya
Tiba di Madura
Setibanya di
Pulau Madura, Raden Wijaya dan pengikutnya segera menemui Arya Wiraraja. Sikap
Arya Wiraraja sebagai Bupati Singhasari tidak berubah meskipun tahu Kerajaan
Singhasari telah runtuh. Sambutan yang demikian membuat Raden Wijaya terharu
sehingga menjanjikan apabila berhasil mengembalikan kekuasaan yang telah
direbut Jayakatwang maka wilayah kerajaan setengahnya akan diberikan kepada
Arya Wiraraja.
Arya Wiraraja
sangat senang mendengar janji Raden Wijaya dan akan berupaya mengerahkan segala
kekuatan yang dimilikinya untuk mewujudkan keinginan Raden Wijaya tersebut.
Arya Wiraraja juga memberi nasehat agar Raden Wijaya pura pura menyerah dan
mengabdi kepada Prabu Jayakatwang di Kediri dan selama tinggal di istana, Raden
Wijaya diminta menyelidiki sampai dimana kekuatan tentara Kadiri. Setelah itu
Raden Wijaya diminta mengajukan permohonan kepada Prabu Jayakatwang untuk
membuka hutan dan tanah tandus di daerah Tarik dan Arya Wiraraja akan
mengirimkan orang-orang Madura untuk membantunya.
Demikianlah Arya
Wiraraja kemudian mengirimkan utusan ke Kadiri untuk menyampaikan bahwa Raden
Wijaya menyerah dan bermaksud untuk mengabdi kepada Prabu Jayakatwang.
Permohonan tersebut disetujui oleh Prabu Jayakatwang. Raden Wijaya kemudian
berangkat ke Kadiri dengan diantar oleh Arya Wiraraja sampai di daerah Terung
dan Raden Wijaya kemudian dijemput oleh patih kadiri yaitu Sagara Winotan dan
Yangkung Angilo di daerah Jung Biru. Adapun Tribhuwaneswari yang turut serta
dalam perjalanan Raden Wijaya ke Madura dititipkan ke pada Arya Wiraraja.
Kedatangan Raden Wijaya dan para pengikutnya di Kadiri bertepatan dengan
perayaan hari raya Galungan.
Setelah cukup
lama mengabdi di Kadiri Raden Wijaya kemudian mengusulkan untuk membuka daerah
tarik (daerah Sidoarjo) menjadi hutan perburuan bagi Prabu Jayakatwang yang
suka berburu. Usul tersebut segera disetujui tanpa curiga. Daerah Tarik
terletak di tepi sungai Brantas dekat pelabuhan Canggu yang sekarang terletak
di sebelah Timur Mojokerto. Raden Wijaya Segera mengirim Wirondaya ke Sumenep
Madura untuk melaporkan persetujuan tersebut kepada Bupati Madura Arya
Wiraraja. Arya Wiraraja kemudian mengerahkan orang Madura untuk membuka Hutan
tarik.
Dalam waktu
singkat hutan tarik berhasil dibuka dan orang Madura yang membantu pembukaan
hutan tersebut kemudian menetap di daerah tersebut. Daerah tersebut kemudian
dinamakan Majapahit atau Wilwatikta. Setelah Hutan Tarik berhasil dibuka, Raden
Wijaya minta izin kepada Prabu Jayakatwang untuk menengok daerah tersebut.
Prabu Jayakatwang mengizinkan asal tidak lama tinggal didaerah tersebut.
Demikianlah akhirnya Raden wijaya berangkat bersama pengiringnya pada hari
mertamasa. Pada hari ke tujuh Raden Wijaya akhirnya sampai di daerah Tarik dan
tinggal di Pesanggrahan yang terbuat dari bambu yang dikelilingi kolam. Panji
Wijayakrama memberikan uraian yang sangat jelas tentang keberadaan daerah
Majapahit sebagai berikut :
Kota yang
dibangun menghadap ke sungai yang besar yaitu sungai brantas yang mengalir dari
Kediri sampai ke laut.
Sungai kecil
yang mengalir dari selatan yaitu kali mas yang pada jaman tersebut disebut kali
Kancana.
Perahu dagang
hilir mudik silih berganti dikemudikan oleh orang Madura.
Orang Madura
mengalir tak putus putusnya ke Majapahit, mereka menetap di Majapahit bagian
utara yang dinamakan Wirasabha.
Disebelah
tenggara kota adalah jembatan.
Daerah yang
dibuka sebagian besar berupa sawah dan perkebunan yang ditanami bunga, pucang,
pinang , kelapa dan pisang
Telah tersedia
tahta dari batu putih tempat duduk Raden Wijaya yang dinakaman Wijil Pindo yang
artinya pintu kedua
Buah Maja Konon,
buah maja ditemukan pada saat Raden Wijaya diijinkan membuka hutan Tarik. Raden
Wijaya pandai mengambil hati rakyat Majapahit yang baru saja menetap di daerah
Tarik, orang orang dari Daha dan Tumapel kemudian banyak yang menetap di daerah
Majapahit. Di desa ini Raden Wijaya kemudian memimpin dan menghimpun kekuatan,
khususnya rakyat yang loyal terhadap mendiang Prabu Kertanegara yang berasal
dari daerah Daha dan Tumapel. Arya Wiraraja sendiri menyiapkan pasukannya di
Madura untuk membantu Raden Wijaya bila saatnya diperlukan. Rupanya ia pun
kurang menyukai Raja Jayakatwang.
Banyak Kapuk dan
Mahisa Pawagal yang diutus oleh Raden Wijaya ke Sumenep Madura telah sampai.
Semua pesan Raden Wijaya segera disampaikan kepada Arya Wiraraja. Ketika mereka
akan kembali, putra Arya Wiraraja yaitu Ranggalawe yang bertempat di dusun
Tanjung di sebelah Barat Madura dikirim ke Majapahit membawa pesan ayahnya
bahwa Arya Wiraraja belum bisa datang ke Majapahit dan Arya Wiraraja akan
secepatnya mengirim utusan ke Tiongkok untuk minta bantuan tentara Tartar.
Banyak Kapuk dan
Mahisa Pawagal akhirnya pulang ke majapahit mengiringi Putri Tribhuwaneswari
bersama Putra Arya Wiraraja yaitu Ranggalawe. Nama Ranggalawe adalah pemberian
Raden Wijaya kepada putra Arya Wiraraja tersebut karena ketegasan tindak
tanduknya pada saat pertama kali bertemu Raden Wijaya. Lawe artinya benang / wenang
karena dia diberikan wewenang untuk memerintah seluruh rakyat Madura dan diberi
pangkat Rangga.
Keesokan harinya
Raden Wijaya bersama Ranggalawe, Ken Sora dan para Wreddha Menteri lainnya
menyusun siasat untuk menyerang kerajaan kediri. Namun sebelum penyerangan
dilaksanakan Ranggalawe minta ijin pulang ke Madura untuk mengambil kuda
ayahnya yang berasal dari daerah Bima dan kuda kuda lainnya untuk tunggangan
para panglima pasukan. Usul tersebut disetujui akhirnya Ranggalawe pulang ke
Madura.
Raden Wijaya
telah lama meninggalkan kediri, akhirnya pada bulan Waisaka datang utusan dari
Prabu Jayakatwang yang bernama Sagara Winotan yang meminta kepada Raden Wijaya
untuk balik ke Kediri karena Prabu Jayakatwang akan melaksanakan perburuan di
daerah baru tersebut. Pada saat Sagara Winotan ada di Majapahit datanglah
Ranggalawe dengan kuda kuda perangnya dari Madura. Kuda kuda tersebut kemudian
diturunkan dari atas Kapal. Segara Wionotan terheran heran melihatnya. Untuk
menghindari kecurigaan dari utusan kediri tersebut, Raden wijaya kemudian
menjelaskan bahwa kuda kuda tersebut akan dipergunakan untuk persiapan berburu
Prabu Jayakatwang. Segara Winotan percaya akan maksud baik Raden Wijaya dan
ingin segera melihat sepak terjang orang orang Madura dalam melaksanakan
perburuan.
Namun perkataan
Segara Winotan tanpa disadari telah menyinggung hati Ranggalawe sehingga
menyahut
“ apa bedanya
tindak landuk petani Madura dengan orang Daha, segera engkau akan mengetahui
kemampuan orang Madura “.
Raden Wijaya terkejut
mendengar teriakan lantang Ranggalawe. Kalau hal tersebut dibiarkan maka akan
terjadi perselisihan diantara kedua orang tersebut dan apa yang telah
dirahasiakan selama ini akan terbongkar. Untuk menenangkan suasana Ken Sora
kemudian mengajak Ranggalawe untuk mengawasi penurunan kuda kuda dari kapal.
Segara Winotan yang terkejut dengan teriakan Ranggalawe segera menanyakan
siapakah gerangan orang tersebut. Raden Wijaya menjelaskan bahwa orang tersebut
adalah Kemenakan Ken Sora dari Tanjung sebelah barat Madura.
Ucapannya kasar
karena dia adalah petani bentil, karena itu janganlah terlalu diambil hati.
Segera Winotan kemudian kembali ke Daha. Kuda yang dibawa oleh Ranggalawe dari
Madura berjumah 27 ekor kemudian dibagikan kepada para pemimpin pasukan. Segara
Winotan telah kembali ke Kerajaan Kediri kemudian melaporkan ke hadapan Prabu
Jayakatwang persiapan berburu yang telah dilakukan oleh Raden Wijaya, tanpa
mengetahui keadaan yang sebenarnya. Maklumlah selama di daerah Tarik Segara
Winotan hanya diterima di daerah Warasaba dan tidak diberi kesempatan untuk
melihat keadaan kota. Raden Wijaya sangat pintar untuk menerima tamunya
sedemikian rupa sehingga Segara Winotan tidak mengetahui persiapan perang yang
sedang direncanakan oleh Raden Wijaya.
Arya Wiraraja
telah bersiap siap untuk berangkat ke Majapahit diiringi Bala tentaranya dari
Madura. Kedatangannya dengan perahu sampai di Canggu disambut oleh Raden Wijaya
dan ditempatkan di Pesanggarahan yang telah dipersiapkan untuknya. Arya
Wiraraja minta maaf kepada Raden Wijaya karena telah mengambil keputusan tanpa
persetujuan dari Raden Wijaya yang menjanjikan 2 orang putri dari Tumapel akan
diserahkan kepada Kaisar Tartar bila mampu menundukkan kerajaan Kediri dibawah
pimpinan Prabu Jayakatwang. Kaisar Tartar berjanji bahwa pasukan Tartar akan
datang pada bulan Waisaka.
Dalam menyusun
siasat untuk menyerang Kerajaan Kediri, Ranggalawe mengusulkan agar pasukan
Majapahit dipecah menjadi 2 yaitu
· Arya Wiraraja
memimpin pasukan yang bergerak melalui jalan raja, lewat Linggasana.
· Raden Wijaya
memimpin pasukan yang melalui Singhasari.
Ranggalawe akan
ikut dalam pasukan pimpinan Raden Wijaya, kedua pasukan akan bertemu di daerah
Barebeg.
Dalam Kidung
Harsa Wijaya Pupuh IV diuraikan tentang peperangan Majapahit dengan Kerajaan
Kediri. Ranggalawe berpendapat tidaklah mungkin terjadinya perang tanpa ada
penyebabnya, karena hal tersebut akan menimbulkan tuduhan bahwa Raden Wijaya
tidak tahu berterima kasih akan kebaikan Prabu Jayakatwang yang telah menerima
Raden Wijaya dan pengikutnya dengan baik selama mengabdi di kerajaan Kediri.
Oleh karena itu Ranggalawe mengusulkan agar Raden Wijaya mengirimkan utusan ke
Prabu Jayakatwang untuk meminta putri Puspawati dan Gayatri yaitu putri Prabu
Kertanagara yang ditawan oleh Kerajaan Kadiri. Jika permintaan tersebut tidak
dikabulkan maka alasan tersebutlah yang akan dipakai dasar untuk menyerang
Kerajaan Kediri.
Ken Sora, Gajah
Pagon dan Lembu Peteng lebih cendrung untuk memberontak begitu saja, karena
bukan tidak mungkin prabu Jayakatwang akan meluluskan permintaan Raden Wijaya
tersebut. Nambi mengusulkan agar tentara Majapahit berusaha memikat Menteri
Menteri kerajaan Daha sehingga ikut membantu pemberontakan terhadap
pemerintahan prabu Jayakatwang. Usul tersebut ditolak oleh Podang yang mendapat
dukungan dari Panji Amarajaya, Jaran Waha, Kebo Bungalan dan Ranggalawe. Karena
pandapat yang berbeda beda tersebut akhirnya mereka semua minta pendapat dari
Arya Wiraraja, karena telah terbukti Arya Wiraraja pandai memberi nasehat
kepada Raden Wijaya. Arya Wiraraja memberi nasehat agar Raden Wijaya bersabar
menunggu kedatangan Pasukan dari Tartar sebulan lagi.
Akhirnya pada
tanggal 1 Maret 1293, 20.000 pasukan Mongol mendarat di Jawa. disebelah barat
Canggu dan langsung membuat benteng pertahanan di lembah Janggala. Disebutkan
bahwa utusan yang dikirim ke Jawa terdiri dari tiga orang pejabat tinggi
kerajaan, yaitu Shih Pi, Ike Mese, dan Kau Hsing. Hanya Kau Hsing yang berdarah
Cina, sedangkan dua lainnya adalah orang Mongol. Mereka diberangkatkan dari
Fukien membawa 20.000 pasukan dan seribu kapal. Kublai Khan membekali pasukan
ini untuk pelayaran selama satu tahun serta biaya sebesar 40.000 batangan
perak. Shih Pi dan Ike Mese mengumpulkan pasukan dari tiga provinsi: Fukien, Kiangsi,
dan Hukuang. Sedangkan Kau Hsing bertanggung jawab untuk menyiapkan perbekalan
dan kapal. Pasukan besar ini berangkat dari pelabuhan Chuan-chou dan tiba di
Pulau Belitung sekitar bulan Januari tahun 1293. Di sini mereka mempersiapkan
penyerangan ke Jawa selama lebih kurang satu bulan.
Kekuatan Satuan
Tugas Expedisi Tartar.
Untuk
mendapatkan gambaran betapa besar kekuatan Satuan Tugas Expedisi Tartar ke Jawa
kami mencoba membuat analisa data yang disebut dalam buku W.P.Groeneveldt.
Analisa ini juga untuk mendapatkan gambaran susunan dari Satuan Tugas ini.
Armada tugas berkekuatan 1000 kapal dengan perbekalan cukup untuk satu tahun.
Gubernur Fukien diperintahkan oleh Kubilai Khan untuk menghimpun pasukan
berkekuatan 20.000 dari propinsi-propinsi Fukien, Kiang-si dan Hukuang. Tiga
propinsi ini berada di Cina Selatan. Fukien berbatasan dengan laut selat
Taiwan. Pasukan ini dikumpulkan di pelabuhan propinsi Fukien bernama Chuan-chau
dari mana armada diberangkatkan. Jadi pasukan yang dikumpulkan dari tiga propinsi
adalah terdiri dari orang Cina. Sebagai pemimpin umum ditunjuk Shih-pi dan Ike
Mese dan Kau Hsing sebagai pembantu-pembantunya.
Dari namanya
dapat diperkirakan, Shih-pi dan Ike Mese adalah berasal dari Mongolia (Tartar
asli) sedang Kau Hsing adalah Cina. Pasukan Tartar yang menyerbu ke Eropa
terkenal karena pasukan kudanya. Jadi dapat diperkirakan pasukan kavaleri yang
ikut ke Jawa ini terdiri atas orang-orang Tartar. Selain dari tiga propinsi di
atas disebut pula adanya beberapa kesatuan yang dikumpulkan di Ching-yuan
(sekarang Ning-po) di sebelah selatan Syang-hai. Shih-pi dan Ike Mese lewat
daratan dengan pasukan itu berjalan dari sini menuju Chuan-chou, sedang Kau
Hsing mengangkut perbekalan dengan kapal. Jadi diperkirakan pasukan yang berkumpul
di Ning-po ini adalah kesatuan-kesatuan berkuda (kavaleri) yang disebut dalam
laporan Shih-pi berkekuatan 5000 orang, kiranya terdiri dari orang-orang
Tartar.
Maka dapat
diperkirakan, expedisi yang berkekuatan 20.000 orang ini terbagi dalam
infanteri 15.000 orang. Dalam kronik Cina itu tidak disebut berapa besar jumlah
awak kapal yang 1000 buah itu. Kalau tiap kapal berawak kapal 10 orang maka
seluruhnya akan berjumlah 10.000 orang pelaut. Jadi seluruh expedisi ini
berkekuatan 1000 kapal, kira-kira 30.000 prajurit dan 5000 kuda.
Sesampainya di
Tuban expedisi tersebut, seperdua dari kekuatan tempur didaratkan di sini dan
menuju Pacekan lewat darat. Bagian yang lewat darat ini dipimpin oleh Kau Hsing
terdiri atas kavaleri dan infanteri sedang seorang “Commander of Ten Thousand”
(Pangleksa) meminpin pasukan pelopor. Shih-pi dengan seperdua bagian lainnya
menuju Ujunggaluh lewat laut membawa perbekalan armada dipimpin oleh Ike Mese.
Kiranya bagian yang dengan kapal ini adalah kesatuan-kesatuan bantuan dan senjata
bantuan, kesatuan perbekalan dan kesatuan senjata berat, pelempar peluru
(batu?).
Mengingat
keadaan medan di Jawa diperkirakan banyak terdiri dari rawa-rawa maka senjata
berat ini akan selalu disiapkan di kapal saja. Bagian terbesar dari expedisi ini
adalah kesatuan infanteri. Maka dapat diperkirakan seluruh kekuatan expedisi
terbagi atas kesatuan kavaleri 5000 orang, kesatuan infanteri kira-kira 10.000
orang dan kesatuan bantuan kira-kira 5000 orang yang dapat dipakai sebagai
bantuan cadangan.
Perjalanan
menuju Pulau Belitung yang memakan waktu beberapa minggu melemahkan bala
tentara Mongol karena harus melewati laut dengan ombak yang cukup besar. Banyak
prajurit yang sakit karena tidak terbiasa melakukan pelayaran. Di Belitung
mereka menebang pohon dan membuat perahu (boats) berukuran lebih kecil untuk
masuk ke sungai-sungai di Jawa yang sempit sambil memperbaiki kapal-kapal
mereka yang telah berlayar mengarungi laut cukup jauh.
Penyerangan
Kerajaan Kadiri
Pada bulan kedua
tahun itu Ike Mese bersama pejabat yang menangani wilayah Jawa dan 500 orang
menggunakan 10 kapal berangkat menuju ke Jawa untuk membuka jalan bagi bala
tentara Mongol yang dipimpin oleh Shih Pi. Ketika berada di Tuban mereka
mendengar bahwa raja Kartanagara telah tewas dibunuh oleh Jayakatwang yang
kemudian mengangkat dirinya sebagai raja Singhasari.
Oleh karena
perintah Kublai Khan adalah menundukkan Jawa dan memaksa rajaSinghasari, siapa
pun orangnya, untuk mengakui kekuasaan bangsa Mongol, maka rencana menjatuhkan
Jawa tetap dilaksanakan. Sebelum menyusul ke Tuban orang-orang Mongol kembali
berhenti di Pulau Karimunjawa untuk bersiap-siap memasuki wilayah Singhasari.
Setelah berkumpul kembali di Tuban dengan bala tentara Mongol. Ike Mese
mengetahui kalau Kertanegara memiliki ahli waris bernama Raden Wijaya. Ia pun
mengirim utusan menemui Raden Wijaya yang berkampung di Majapahit. Raden Wijaya
bersedia menyerah dan tunduk kepada Mongol asalkan terlebih dahulu dibantu
mengalahkan Jayakatwang raja Kadiri. Ike Mese kemudian diundang ke desa
Majapahit.
Diputuskan bahwa
Ike Mese akan membawa setengah dari pasukan kira-kira sebanyak 10.000 orang
berjalan kaki menuju Singhasari, selebihnya tetap di kapal dan melakukan
perjalanan menggunakan sungai sebagai jalan masuk ke tempat yang sama. Sebagai
seorang pelaut yang berpengalaman, Ike Mese, yang sebenarnya adalah suku Uigur
dari pedalaman Cina bukannya bangsa Mongol, mendahului untuk membina kerja sama
dengan penguasa-penguasa lokal yang tidak setia kepada Jayakatwang.
Kisah serangan
Mongol terhadap Jawa tersebut tercantum dalam Catatan Sejarah Dinasti Yuan yang
telah diterjemahkan oleh W.P. Groeneveldt, dalam bukunya, Notes on The Malay
Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese Sources (1880). Menurut cerita
Pararaton Permohonan Arya Wiraraja kepada Kaisar Tiongkok untuk memperoleh
bantuan dalam usahanya menyerang kerajaan Kediri dengan janji dua orang putri
dari Tumapel dan seorang Putri dari Kerajaan Kediri yaitu Ratna Kesari pada
hakikatnya adalah bumbu romantis dari pengiriman tentara tersebut. Tanpa
permohonan bantuan dan janji tersebut tentara Tartar pasti datang ke Jawa untuk
menuntut balas atas penghinaan utusannya yang bernama Meng ki oleh Prabu
Kertanegara. Di muka telah diuraikan bagaimana watak Kaisar Kubilai Khan yang
sangat ambisius untuk memperluas daerah kekuasaannya, namun hal tersebut
berbenturan dengan Prabu kertanagara yang sadar akan keagungannya sebagai raja
yang berdaulat sehingga tidak mau tunduk begitu saja akan keinginan kaisar
Kubilai Khan.
Armada kapal
kerajaan Mongol selebihnya dipimpin langsung oleh Shih Pi memasuki Jawa dari
arah sungai Sedayu dan Kali Mas. Setelah mendarat di Jawa, ia menugaskan Ike
Mese dan Kau Hsing untuk memimpin pasukan darat. Beberapa panglima “pasukan
10.000-an” turut mendampingi mereka. Sebelumnya, tiga orang pejabat tinggi
diberangkatkan menggunakan ‘kapal cepat’ menuju ke Majapahit
Untuk
mempermudah gerakan bala tentara asing ini, Raden Wijaya memberi kebebasan
untuk menggunakan pelabuhan-pelabuhan yang ada di bawah kekuasaannya dan bahkan
memberikan panduan untuk mencapai Daha, ibukota Singhasari. Ia juga memberikan
peta wilayah Singhsari kepada Shih Pi yang sangat bermanfaat dalam menyusun
strategi perang menghancurkan Jayakatwang. Selain Majapahit, beberapa kerajaan kecil
turut bergabung dengan orang-orang Mongol sehingga menambah besar kekuatan
militer sudah sangat kuat ketika berangkat dari Cina. Persengkongkolan ini
terwujud sebagai ungkapan rasa tidak suka mereka terhadap raja Jayakatwang yang
telah membunuh Kartanegara melalui sebuah kudeta yang keji.
Berita
pendaratan pasukan dari Tartar telah tersiar sampai di kerajaan Kediri, berita
pendaratan tersebut ditambah dengan pemberontakan rakyat Majapahit dan penduduk
di sebelah timur Tegal bobot sari dipimpin oleh Arya Wiraraja. Berita tersebut
menimbulkan keributan antara rakyat dan tentara Kediri, Segara Winotan dituduh
berkhianat kepada raja karena memberikan laporan yang tidak sebenarnya, segala
kesalahan ditumpahkan kepadanya. Puncak keributan tersebut berupa penghunusan
keris oleh Kebo Rubuh yang siap ditikamkan kepada Segara Wonotan tetapi dengan
cepat berhasil dicegah oleh Prabu Jayakatwang.
Pada saat itu
datang akuwu di Tuban yang memberikan laporan bahwa tentara Tartar telah
mendarat di daerah tersebut. Mereka merusak Kota Tuban, rakyat banyak yang lari
mengungsi. Prabu Jayakatwang menyadari bahwa negara benar benar dalam keadaan
terancam. Pasukan harus segera dipersiapkan untuk menghadapi musuh yang akan
datang. Untuk membendung tentara Tartar dan majapahit akhirnya diputuskan
tentara Kediri akan dibagi dalam 3 pertahanan yaitu :
· Mahisa Antaka
dan Bowong memimpin pertahanan di bagian Utara , Prabu Jayakatwang ikut dalam
pertahanan ini.
· Sagara Winotan
dan Senapati Rangga Janur memimpin pertahanan di bagian Timur.
· Kebo Mudarang
dan senapati Pangelet memimpin pertahaan bagian selatan
Prabu
Jayakatwang sangat marah kepada Raden Wijaya sehingga memutuskan menyerang
musuh yang sedang bergerak.
Tentara Kadiri
menyerang Majapahit dari tiga jurusan yaitu fron utara dipimpin oleh para
adipati dan anjuru, fron selatan dipimpin oleh Menteri Araraman dan fron timur
dipimpin oleh prajurit yang langsung berhadapan dengan pasukan dari Majapahit.
Namun semuanya dapat dipukul mundur oleh pasukan Majapahit dan Mongol. Pada
bulan ketiga tahun 1293, setelah seluruh pasukan berkumpul di mulut sungaiKali
Mas, penyerbuan ke kerajaan Kediri mulai dilancarkan. Kekuatan kerajaanKediri
di sungai tersebut dapat dilumpuhkan, lebih dari 100 kapalberdekorasi kepala
raksasa dapat disita karena seluruh prajurit dan pejabat yangmempertahankannya
melarikan diri untuk bergabung dengan pasukan induknya.
Peperangan besar
baru terjadi pada hari ke-15, bila dihitung semenjak pasukanMongol mendarat dan
membangun kekuatan di muara Kali Mas, di mana bala tentara gabungan Mongol
dengan Raden wijaya berhasil mengalahkan pasukan Kadiri. Kekalahan ini
menyebabkan sisa pasukan kembali melarikan diri untuk berkumpul di Daha,
ibukota Kadiri. Pasukan Ike Mese, Kau Hsing, dan Raden wijaya melakukan pengejaran
dan berhasil memasuki Daha beberapa hari kemudian.
Pada hari ke-19
terjadi peperangan yang sangat menentukan bagi kerajaan Kadiri Ike Mese
menyerang dari timur, Kau Hsing dari barat, Shih Pi menyusuri sungai, sedangkan
pasukan Raden Wijaya sebagai barisan belakang. Perang meletus tanggal 20 Maret
1293 pagi. Kota Daha digempur tiga kali meskipun sudah dijaga 100.000 orang
prajurit. Gabungan pasukan Cina dan Raden Wijaya berhasil membinasakan 5.000
tentara Daha.
Dalam Kidung
Panji Wijayakrama pupuh VII Segara Winotan berhadapan dengan Ranggalawe di
pertahanan bagian Timur. Ranggalawe mengendarai kuda Anda Wesi berhasil
melompat kedalam kereta Segara Winotan. Dalam pertempuran diatas kereta
tersebut Ranggalawe berhasil memotong leher Segara Winotan sampai tewas. Di
bagian selatan Ken Sora berhasil menangkap kebo Mundarang di lurah Trini Panti.
Kebo Mundarang yang sudah tidak berdaya berjanji untuk menyerahkan anak
perempuannya kepada Ken Sora namun Ken Sora tidak sudi mendengarnya.
Dalam peperangan
ini dikatakan bahwa pasukan Mongol menggunakan meriam yang pada zaman itu masih
tergolong langka di dunia. Terjadi tiga kali pertempuran besar antara kedua
kekuatan yang berseteru ini di keempat arah kota dan dimenangkan oleh pihak
para penyerbu. Pasukan Kadiri terpecah dua, sebagian menuju sungai dan
tenggelam di sana karena dihadang oleh orang-orang Mongol, sedang sebagian lagi
sebanyak lebih kurang 5.000 dalam keadaan panik akhirnya terbunuh setelah
bertempur dengan tentara gabungan Mongol-Majapahit. Salah seorang anak
Jayakatwang yang melarikan diri ke perbukitan di sekitar ibukota dapat
ditangkap dan ditawan oleh pasukan Kau Hsing berkekuatan seribu orang.
Dengan kekuatan
yang tinggal setengah, Jayakatwang mundur untuk berlindung di dalam benteng.
Sore hari, menyadari bahwa ia tidak mungkin mempertahankan lagi di Daha,
Jayakatwang keluar dari benteng dan menyerahkan diri untuk kemudian ditawan di
benteng pertahan ujung galuh. Menurut Pararaton dan Kidung Harsawijaya,
Jayakatwang meninggal dunia di dalam penjara Ujung Galuh setelah menyelesaikan
sebuah karya sastra berjudul Kidung Wukir Polaman.
Setelah Raja
Jayakatwang kalah, Raden Wijaya mohon diri kembali ke Majapahit untuk
menyiapkan upeti bagi kaisar Khubilai Khan. Kerajaan Kediri telah jatuh, Putri
Gayatri kemudian diboyong kembali ke Majapahit. Agaknya timbul perselisihan
antara panglima Cina ini dengan panglima-panglima Tartar. Shih-pi dan Ike Mese,
karena kedua orang panglima ini telah mengijinkan Wijaya kembali ke Majapahit.
Kau Hsing tidak mempercayai Wijaya, maka ia mengejar dan meninggalkan Kediri
dengan divisi dan pasukan pelopor yang di bawah pimpinannya.
Majapahit
Menghalau Tentara Tartar
Sebelum dimulai
uraian tentang gerakan-gerakan operasi militer oleh Raden Wijaya terhadap
kesatuan-kesatuan Tartar, lebih dahulu kita berusaha mendapatkan gambaran
mengenai keadaan yaitu medan di mana kesatuan-kesatuan baik dari Majapahit
maupun dari Tartar. Keuntungan Majapahit adalah, bahwa prajurit Majapahit lebih
mengenal keadaan medan yang bagi orang Tartar masih sangat asing.
Medan
berbukit-bukit dan sebagian besar tersusun oleh tanah keras atau
bongkah-bongkah karang. Di sebelah timur sungai diperkirakan keadaan tanahnya
masih lunak, bahkan banyak yang merupakan rawa-rawa dan di dekat desa di sana-sini
berupa tanah persawahan. Kalau ada jalan tentu jalan-jalan ini tidak dikeraskan
dengan diberi dasar batu. Baik di barat maupun di timur sungai masih terdapat
banyak hutan-hutan lebat. Betapa sukarnya daerah ini dilalui, apa lagi oleh
suatu kesatuan militer yang besar, dapat kita perkirakan dari waktu yang
diperlukan untuk menempuh jarak antara Pacekan sampai Kediri.
Dalam kronik
Cina laporan Shih-pi menyebut, ia harus bertempur sepanjang kurang-lebih 300 li
dari Kediri sampai ke kapal-kapalnya. Memang jarak antara Surabaya dan Kediri
adalah kira-kira 130 kilometer lewat jalan berbelok-belok, kalau ditarik garis
lempang dari Surabaya sampai Kediri kira-kira jarak itu adalah kurang-lebih 100
kilometer. Jarak Majapahit-Kediri yang kira-kira tujuhpuluh kilometer itu oleh
kesatuan Tartar ditempuh dalam waktu 4 hari (tanggal 15 sampai 19) berjalan.
Jadi tiap
harinya hanya dapat menyelesaikan jarak kira-kira 17 kilometer. Kalau sehari
selama 2 hari masih terang mereka dapat berjalan kira-kira 9 jam, maka tiap jam
kiranya dapat diselesaikan 2 km. Maka dari sini kita dapat membuat perkiraan,
betapa beratnya keadaan medan pada waktu itu.Kronik Cina menyebut, Wijaya pada
hari ke dua bulan ke empat diizinkan kembali ke Majapahit dengan pasukannya
disertai oleh dua orang perwira Tartar dan 200 orang prajurit untuk menyiapkan
persembahan bagi kaisar Tartar, jadi 13 hari setelah Kediri menyerah. Tanggal 9
Mei ia berangkat, sampai di Majapahit tanggal 13 Mei. Dengan diam-diam Wijaya
menyiapkan pasukan dan rakyatnya.
Dalam Kronik
cina disebutkan bahwa Kau Hsing yang sejak tanggal dikalahkannya Kediri
mengejar seorang pangeran yang lari ke pegunungan sekembalinya ke Kediri baru
mengetahui, bahwa Wijaya telah berangkat dengan ijin Shih-pi dan Ike Mese.
Tindakan rekan-rekannya ini tidak disetujui oleh Kau Hsing, agaknya timbullah
perselisihan antara para pembesar ini. Diperkirakan Kau Hsing berada di
pegunungan selama dua minggu lebih, kita buat 16 hari. Maka ia diperkirakan
kembali pada tanggal 14 Mei. Setelah mengumpulkan divisinya ia segera mengejar
Wijaya yang telah sempat menyiapkan pasukan di tempat-tempat pengadangan.
Didalam Istana
Majapahit sekarang timbul kesulitan yang harus dihadapi Majapahit terhadap
pasukan Tartar. Dalam Kidung Wijayakrama dikisahkan bagaimana sikap yang harus
diambil jika tentara Tartar yang menagih janji 2 orang putri Tumapel sebagai
hadiah kepada Kaisar Tartar. Ketika Arya Wiaraja menanyakan hal tersebut
semuanya terdiam, tidak berani menjawab. Ken Sora mengemukakan pendapat bahwa
tidak baik memungkiri janji yang telah disepakati. Kemudian Ranggalawe bersuara
lantang sesuai dengan wataknya
“ Jangan takut
sang prabu, itu hanyalah soal kecil. Jika kita harus melawan kami bersedia mati
sebagai pahlawan. Jika paduka takut berperang tidaklah masih layak hidup di
dunia.
Ucapan
Ranggalawe yang lantang tersebut membangkitkan semangat dan tekat semua yang
hadir, semua setuju dan bersedia mati untuk sang Raja.
Akhirnya utusan
Tartar telah datang dengan 200 orang pengiring lengkap dengan senjata dan
menyerahkan surat untuk menagih janji. Setelah surat dibaca Ken Sora
memberitahukan bahwa orang Majapahit tidak akan mengingkari janji yang telah
disepakati tersebut. Namun demikian putri Singhasari tersebut sangat miris
kalau melihat senjata karenanya putri bisa pingsan. Oleh karena itu simpanlah
baik baik senjata kalian dalam bilik yang terkunci dan beritahukan kepada
pasukan pengawal yang akan menjemput tuan Putri untuk tidak membawa senjata.
Utusan kemudian kembali membawa pesan Ken Sora kepada kepala Pasukan.
300 orang Tartar
kemudian datang menjemput tuan Putri, para pengawal dibawa masuk ke balai
panjang untuk di jamu, para wanitanya dibawa oleh Arya Wiraraja kedalam istana.
Ketika mereka sedang berpesta dengan serta merta pasukan Majapahit menyerang
mereka. Banyak diantara mereka yang terbunuh, yang selamat kemudian ditawan.
Pada tanggal 19
April 1293 Raden Wijaya kemudian menyerang tentara Mongol yang sedang berpesta
di Daha dan Canggu. Penyerangan tersebut dari arah utara dan selatan. Kota
Kediri telah dikepung, sambil menangkis serangan dari arah selatan mereka
bergerak menuju arah utara mendekati pantai tempat armadanya. Namun dari arah
utarapun diserang juga sehingga tentara Tartar yang terdesak kemudian berbelok
kearah barat . Pasukan Tartar yang masih tersisa tidak menyadari bahwa Raden
Wijaya akan bertindak demikian Ike Mese memutuskan mundur setelah kehilangan
3.000 orang tentaranya.
Betapa hebatnya
serangan Wijaya ini dapat kita perkirakan dari laporan lain yang menyebutkan,
bahwa Shih-pi sampai terputus dari pasukan yang lain. Ini berarti bahwa daerah
sepanjang jalan antara Kediri dan Ujunggaluh benar-benar dikuasai oleh pasukan
dan rakyat Desa Majapahit. Shih-pi yang meninggalkan Kediri beberapa hari
kemudian dan terputus dari pasukan yang lain terpaksa harus dengan bertempur
membuka jalan menuju Pacekan dan Ujunggaluh yang dicapainya dengan susah-payah.
Untuk mencapai kapal-kapalnya di muara sungai ia harus bertempur sepanjang
jalan kira-kira 300 li, kira-kira 100 km. Ia kehilangan lebih dari 3000 orang
tewas dalam pertempuran ini.
Ini dapat
dibayangkan, bagaimana jalan pertempuran dan mengapa Shih-pi terpaksa harus
menelan kekalahan. Kalau Kau Hsing yang memimpin divisi infanteri dengan
pasukan perintisnya yang terlatih dapat mematahkan serangan Wijaya, maka
pasukan berkuda Tartar yang berada dalam devisi Shih-pi merupakan makanan empuk
bagi pasukan panah Majapahit, belum lagi kalau kuda-kuda ini dipancing masuk
rawa-rawa maka orang-orang di atas kuda ini merupakan sasaran yang baik bagi
anak panah Majapahit. Tiga ribu orang yang tewas ini kira-kira sabagian besar
adalah dari kavaleri.
Shih-pi
rupa-rupanya dengan tergesa-gesa masuk kapal, karena ia dikejar oleh pasukan
Wijaya sampai dekat Pacekan, di Tegal Bobot Sari. Dari sini ia berlayar selama
68 hari kembali ke Cina dan mendarat di Chuan-chou. Kekekalahan bala tentara
Mongol oleh orang-orang Jawa hingga kini tetap dikenang dalam sejarah Cina.
Sebelumnya mereka nyaris tidak pernah kalah di dalam peperangan melawan bangsa
mana pun di dunia. Selain di Jawa, pasukan Kublai Khanjuga pernah hancur saat
akan menyerbu daratan Jepang.
Akan tetapi
kehancuran ini bukan disebabkan oleh kekuatan militer bangsa Jepang melainkan
oleh terpaan badai sangat kencang yang memporakporandakan armada kapal kerajaan
dan membunuh hampir seluruh prajurit di atasnya. Setelah para panglima kembali
berkumpul di Ujunggaluh, maka dalam perundingan diputuskan untuk kembali saja,
karena tugas menghukum raja Jawa telah selesai, dan tidak ada gunanya untuk
meneruskan pertempuran, karena mereka tak mengenal keadaan medan, mereka dapat
terrpancing masuk rawa-rawa, di mana mereka tak bisa bergerak dan dengan mudah
diserang oleh orang-orang Majapahit. Kiranya selain itu mereka juga
memperhitungkan keadaan angin yang pada akhir bulan Mei biasanya sudah mulai
meniup ke Barat (angin timur) dengan tetap. Selama kira-kira tiga bulan. Untuk
bisa cepat sampai di Cina mereka harus segera berangkat, kalau mereka tidak
ingin menjumpai rintangan berupa taifun atau angin yang tidak menentu. Maka
mereka dapat sampai di Chuang Chou setelah 68 hari meninggalkan Jawa.
Juga kemungkinan
kejangkitan wabah mereka perhitungkan. Kalau mereka lebih lama berada di
rawa-rawa di muara sungai ini, dikuatirkan akan bertambahnya korban disebabkan
oleh malaria dan penyakit lain. Maka diputuskan lebih baik kembali daripada
menderita lebih banyak kerugian, untuk menghindari kegagalan total, karena
tidak mengenal medan, penyakit dan kehancuran oleh tifun di laut. Menjelang
akhir bulan Maret, yaitu di hari ke-24, seluruh pasukan Mongol kembali ke
negara asalnya dengan membawa tawanan para bangsawan Singhasari ke Cina beserta
ribuan hadiah bagi kaisar. Sebelum berangkat mereka menghukum mati Jayakatwang
dan anaknya sebagai ungkapan rasa kesal atas ‘pemberontakan’ Raden Wijaya.
Kitab Pararaton memberikan keterangan yang kontradiktif, disebutkan bahwa
Jayakatwang bukan mati dibunuh orang-orang Mongol melainkan oleh Raden Wijaya
sendiri, tidak lama setelah ibukota kerajaan Kadiri berhasil dihancurkan.
Demikianlah tentara tartar tidak sempat mengatur siasat dan kehilangan begitu
banyak tentaranya akhirnya meninggalkan Jawa tanggal 24 April 1293, dengan
membawa pulang lebih dari 100 orang tawanan, peta, daftar penduduk, surat
bertulis emas dari Bali, dan barang berharga lainnya yang bernilai sekitar
500.000 tahil perak.
Ternyata
kegagalan Shih Pi menundukkan Jawa harus dibayar mahal olehnya. Iamenerima 17
kali cambukan atas perintah Kublai Khan, seluruh harta bendanyadirampas oleh
kerajaan sebagai kompensasi atas peristiwa yang meredupkankebesaran nama bangsa
Mongol tersebut. Ia dipersalahkan atas tewasnya 3.000lebih prajurit dalam
ekspedisi menghukum Jawa tersebut. Selain itu, peristiwa ini mencoreng wajah
Kublai Khan karena untuk kedua kalinya dipermalukan orang-orang Jawa setelah
raja Kartanegara melukai wajah Meng Chi.
Namun sebagai
raja yang tahu menghargai kesatriaan, tiga tahun kemudian nama baik Shih Pi
direhabilitasi dan harta bendanya dikembalikan. Ia diberi hadiah jabatan tinggi
dalam hirarkhi kerajaan Dinasti Yuan yang dinikmatinya sampai meninggal dalam
usia 86 tahun.
Setelah
kekalahan tentara mongol di Jawa karena siasat Raden Wijaya, Kubilai Khan tidak
mengirimkan pasukan lagi ke AsiaTenggara. Hal tersebut dikarenakan dinasti Yuan
sedang konsentrasi di dalam Negeri termasuk membangun ibukota khanbalik.
pembangunan ibukota Khan balik ini yang membuat Mongol menjadi berunbah ada
yang mengatakan menjadi lemah karena asalnya Mongol adalah suku pengembara.
Pada tahun 1297 Raden Wijaya mengirim utusan ke Beijing untuk berdamai. Kublai
Khan senang dan tidak lagi menuntut raja Jawa datang ke Beijing.
Akhirnya
cita-cita Raden Wijaya untuk menjatuhkan Daha dan membalas sakit hatinya kepada
Jayakatwang dapat diwujudkan dengan memanfaatkan tentara Tartar. Raden Wijaya
kemudian memproklamirkan berdirinya sebuah kerajaan baru yang dinamakan
Majapahit.
RAJA RAJA
MAJAPAHIT
Raden Wijaya
adalah pendiri kerajaan Majapahit tahun 1293 setelah berhasil mengalahkan Prabu
Jayakatwang dari Kerajaan Kadiri dan berhasil memukul mundur pasukan Mongol
dari tanah Jawa.. Untuk menggambarkan bagaimana pemerintahan Majapahit pada
jaman pemerintahan Raden Wijaya dan Raja Raja selanjutnya berikut akan
diutarakan terlebih dahulu Nama Raja – Raja yang memerintah dari tahun
berdirinya Majapahit sampai berakhirnya kerajaan tersebut yang ditandai dengan
tahun Candrasengkala yaitu Senja Ilang Kertaning Bumi.
1. Raden Wijaya,
bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293 - 1309)
2. Kalagamet,
bergelar Sri Jayanegara (1309 - 1328)
3. Sri Gitarja,
bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 - 1350)
4. Hayam Wuruk,
bergelar Sri Rajasanagara (1350 - 1389)
5.
Wikramawardhana (1389 - 1429)
6. Suhita (1429
- 1447)
7. Kertawijaya,
bergelar Brawijaya I (1447 - 1451)
8.
Rajasawardhana, bergelar Brawijaya II (1451 - 1453)
9. Purwawisesa
atau Girishawardhana, bergelar Brawijaya III (1456 - 1466)
10. Pandanalas,
atau Suraprabhawa, bergelar Brawijaya IV (1466 - 1468)
11. Kertabumi,
bergelar Brawijaya V (1468 - 1478)
12.
Girindrawardhana, bergelar Brawijaya VI (1478 - 1498)
13. Hudhara,
bergelar Brawijaya VII (1498-1518)
Perhatikan bahwa
terdapat periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8)
dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang
memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar