Selasa, 24 Juli 2012

SEJARAH PEREKONOMIAN INDONESIA


  1. Kondisi Geografis
Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia telah dilihat sebagai contoh sukses ekonomi Asia Tenggara dan menjadi kekuatan industri baru, mengikuti jejak dari macan Asia (Hong Kong, Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan) . Meskipun perekonomian Indonesia tumbuh dengan kecepatan mengesankan selama tahun 1980 dan 1990-an, Indonesia mengalami kesulitan yang cukup berat setelah krisis keuangan tahun 1997, yang menyebabkan reformasi politik signifikan. perekonomian Indonesia pada saat ini pulih tetapi sulit untuk mengatakan ketika semua masalah yang akan dipecahkan. Meskipun Indonesia masih dapat dianggap sebagai bagian dari dunia berkembang, Indonesia memiliki masa lalu yang kaya dan serbaguna, dalam ekonomi serta arti budaya dan politik.

Dasar Fakta
Indonesia terletak di Asia Tenggara dan terdiri dari kepulauan besar di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, dengan lebih dari 13.000 pulau. Pulau-pulau terbesar adalah Jawa, Kalimantan (bagian selatan dari pulau Borneo), Sumatra, Sulawesi, dan Papua (dahulu Irian Jaya, yang merupakan bagian barat dari Papua New Guinea). total luas lahan di Indonesia adalah 1,9 juta kilometer persegi (750.000 mil persegi). Luas tersebut tiga kali luas Texas, hampir delapan kali luas dari Britania Raya dan waktu kira-kira lima puluh wilayah Belanda. Indonesia memiliki iklim tropis, tetapi karena ada membentang besar dataran rendah dan daerah pegunungan banyak, iklim bervariasi dari panas dan lembab untuk lebih moderat di dataran tinggi. Selain lahan subur cocok untuk pertanian, Indonesia kaya berbagai sumber daya alam, bervariasi dari minyak bumi, gas alam, dan batubara, hingga logam seperti timah, bauksit, nikel, tembaga, emas, dan perak. Ukuran penduduk Indonesia adalah sekitar 230 juta (2002), dimana saham terbesar (sekitar 60%) tinggal di Jawa.
Selain itu, orang sering membaca tentang "kesatuan dalam keragaman." Ini bukan hanya slogan politik diulang di berbagai kali oleh pemerintah Indonesia sendiri, tetapi juga dapat diterapkan untuk heterogenitas dalam fitur nasional negara ini sangat besar dan beragam. Logikanya, masalah-masalah politik yang timbul dari suatu negara bangsa heterogen memiliki (negatif) mereka dampak pada perkembangan ekonomi nasional. Perbedaan yang paling mencolok adalah antara Jawa padat penduduknya, yang memiliki tradisi panjang politik dan ekonomi mendominasi Kepulauan Luar jarang penduduknya. Tapi juga di Jawa dan di dalam Kepulauan berbagai Luar, satu bertemu dengan keragaman budaya yang kaya. perbedaan ekonomi antara pulau bertahan. Namun demikian, selama berabad-abad, perdagangan antar berkembang dan giat memiliki manfaat integrasi regional dalam nusantara.

  1. Kondisi Perekonomian Indonesia
Pasca-periode 1945
Setelah kemerdekaan, perekonomian Indonesia telah pulih dari kesulitan pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan (1945-1949), di atas pemulihan lambat dari Depresi tahun 1930-an. Selama periode 1949-1965, terjadi pertumbuhan ekonomi kecil, terutama di tahun 1950-1957. Pada tahun 1958-1965, tingkat pertumbuhan menyusut, sebagian besar karena ketidakstabilan politik dan tidak sesuai langkah-langkah kebijakan ekonomi. Awal ragu-ragu demokrasi ditandai dengan perebutan kekuasaan antara presiden, tentara, partai komunis dan kelompok-kelompok politik lainnya. masalah kurs dan tidak adanya modal asing yang merugikan pembangunan ekonomi, setelah pemerintah telah dieliminasi semua kontrol ekonomi asing di sektor swasta di 1957-1958. Sukarno ditujukan untuk swasembada dan substitusi impor dan terasing pemasok modal barat bahkan lebih ketika ia mengembangkan simpati komunis.
Setelah tahun 1966, presiden kedua, Soeharto umum, memulihkan aliran modal barat, membawa kembali stabilitas politik dengan peranan yang kuat untuk tentara, dan memimpin Indonesia ke periode ekspansi ekonomi di bawah rezim otoriter nya (Orde Baru) Orde Baru yang berlangsung sampai 1997 (lihat di bawah untuk tiga tahapan Orde Baru). Dalam periode output industri meningkat dengan cepat, termasuk baja, aluminium, dan semen tetapi juga produk-produk seperti makanan, tekstil dan rokok. Dari tahun 1970-an dan seterusnya harga minyak meningkat di pasar dunia yang disediakan Indonesia dengan penghasilan yang besar dari ekspor minyak dan gas. ekspor kayu bergeser dari kayu untuk kayu lapis, pulp, dan kertas, dengan harga cukup luas hutan hujan lingkungan berharga.
Soeharto berhasil menerapkan bagian dari pendapatan untuk pengembangan industri manufaktur berteknologi maju. Mengacu pada periode ini pertumbuhan ekonomi yang stabil, Laporan Bank Dunia tahun 1993 berbicara tentang sebuah 'Keajaiban Asia Timur' menekankan pada stabilitas makroekonomi dan investasi dalam modal manusia (World Bank 1993: vi).
Krisis keuangan pada tahun 1997 menunjukkan sejumlah kelemahan yang tersembunyi dalam perekonomian seperti sistem keuangan yang lemah (dengan kurangnya transparansi), investasi tidak menguntungkan dalam real estat, dan kekurangan dalam sistem hukum. Korupsi berkembang di semua tingkatan birokrasi pemerintah menjadi dikenal secara luas sebagai KKN (Korupsi, kolusi, nepotisme). Praktek ini ciri-kedatangan-usia yang lama 32 tahun, rezim sangat sentralistik, otokratik Soeharto.
Pengembangan kebijakan dan perencanaan ekonomi selama periode 'Orde Baru'
Soeharto menolak mobilisasi politik dan ideologi sosialis, dan mendirikan rezim dikontrol ketat yang putus asa penyelidikan intelektual, tapi menempatkan perekonomian Indonesia kembali pada rel. Baru arus investasi asing dan program-program bantuan asing tertarik, pertumbuhan penduduk yang tak terkendali berkurang akibat program keluarga berencana, dan transformasi berlangsung dari ekonomi didominasi pertanian ke ekonomi industrialisasi. Thee Kian Wie membedakan tiga tahap dalam periode ini, yang masing-masing layak studi lebih lanjut:
1.      1966-1973: stabilisasi, rehabilitasi, liberalisasi parsial dan pemulihan ekonomi;
2.      1974-1982: booming minyak, pertumbuhan ekonomi yang cepat, dan meningkatnya   intervensi pemerintah;
3.      1983-1996: pertumbuhan pasca boom minyak, deregulasi, liberalisasi diperbaharui (dalam reaksi terhadap penurunan harga minyak), dan cepat yang dipicu ekspor. Selama tahap terakhir, komentator (termasuk ekonom akademik) semakin prihatin tentang korupsi berkembang di semua tingkat birokrasi pemerintah: KKN (Korupsi, kolusi, nepotisme) praktek, karena mereka kemudian menjadi dikenal (Thee 2002: 203-215).
Keuangan, krisis ekonomi
Krisis keuangan tahun 1997 dimulai dengan krisis kepercayaan menyusul depresiasi baht Thailand pada bulan Juli 1997. Core faktor penyebab krisis ekonomi berikutnya di Indonesia adalah kuasi-kurs tetap rupiah, cepat naik utang luar negeri jangka pendek dan sistem keuangan yang lemah. keparahan nya harus dihubungkan dengan faktor-faktor politik juga: krisis moneter (krismon) mengarah ke krisis total (Kristal) karena respon kebijakan gagal rezim Soeharto. Soeharto telah berkuasa selama 32 tahun dan pemerintahannya telah menjadi sangat terpusat dan korup dan tidak mampu mengatasi krisis secara kredibel. Asal-usul, konsekuensi ekonomi, dan dampak sosial-ekonomi dari krisis masih dalam pembahasan. (Thee 2003: 231-237; Arndt dan Hill 1999).
Orde Baru/ Orba (Demokrasi Pancasila)
Pada masa orde baru, pemerintah menjalankan kebijakan yang tidak mengalami perubahan terlalu signifikan selama 32 tahun. Dikarenakan pada masa itu pemerintah sukses menghadirkan suatu stablilitas politik sehingga mendukung terjadinya stabilitas ekonomi. Karena hal itulah maka pemerintah jarang sekali melakukan perubahan-perubahan kebijakan terutama dalam hal anggaran negara.
Pada masa pemerintahan orde baru, kebijakan ekonominya berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ekonomi tersebut didukung oleh kestabilan politik yang dijalankan oleh pemerintah. Hal tersebut dituangkan ke dalam jargon kebijakan ekonomi yang disebut dengan Trilogi Pembangungan, yaitu stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi yang stabil, dan pemerataan pembangunan.
Hal ini berhasil karena selama lebih dari 30 tahun, pemerintahan mengalami stabilitas politik sehingga menunjang stabilitas ekonomi. Kebijakan-kebijakan ekonomi pada masa itu dituangkan pada Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), yang pada akhirnya selalu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk disahkan menjadi APBN.
APBN pada masa pemerintahan Orde Baru, disusun berdasarkan asumsi-asumsi perhitungan dasar. Yaitu laju pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, harga ekspor minyak mentah Indonesia, serta nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Asumsi-asumsi dasar tersebut dijadikan sebagai ukuran fundamental ekonomi nasional. Padahal sesungguhnya, fundamental ekonomi nasional tidak didasarkan pada perhitungan hal-hal makro. Akan tetapi, lebih kearah yang bersifat mikro-ekonomi. Misalnya, masalah-masalah dalam dunia usaha, tingkat resiko yang tinggi, hingga penerapan dunia swasta dan BUMN yang baik dan bersih. Oleh karena itu pemerintah selalu dihadapkan pada kritikan yang menyatakan bahwa penetapan asumsi APBN tersebut tidaklah realistis sesuai keadaan yang terjadi.
Format APBN pada masa Orde baru dibedakan dalam penerimaan dan pengeluaran. Penerimaan terdiri dari penerimaan rutin dan penerimaan pembangunan serta pengeluaran terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Sirkulasi anggaran dimulai pada 1 April dan berakhir pada 31 Maret tahun berikutnya. Kebijakan yang disebut tahun fiskal ini diterapkan seseuai dengan masa panen petani, sehingga menimbulkan kesan bahwa kebijakan ekonomi nasional memperhatikan petani.
APBN pada masa itu diberlakukan atas dasar kebijakan prinsip berimbang, yaitu anggaran penerimaan yang disesuaikan dengan anggaran pengeluaran sehingga terdapat jumlah yang sama antara penerimaan dan pengeluaran. Hal perimbangan tersebut sebetulnya sangat tidak mungkin, karena pada masa itu pinjaman luar negeri selalu mengalir. Pinjaman-pinjaman luar negeri inilah yang digunakan pemerintah untuk menutup anggaran yang defisit.
Ini artinya pinjaman-pinjaman luar negeri tersebut ditempatkan pada anggaran penerimaan. Padahal seharusnya pinjaman-pinjaman tersebut adalah utang yang harus dikembalikan, dan merupakan beban pengeluaran di masa yang akan datang. Oleh karena itu, pada dasarnya APBN pada masa itu selalu mengalami defisit anggaran.
Penerapan kebijakan tersebut menimbulkan banyak kritik, karena anggaran defisit negara ditutup dengan pinjaman luar negeri. Padahal, konsep yang benar adalah pengeluaran pemerintah dapat ditutup dengan penerimaan pajak dalam negeri. Sehingga antara penerimaan dan pengeluaran dapat berimbang. Permasalahannya, pada masa itu penerimaan pajak saat minim sehingga tidak dapat menutup defisit anggaran.
Namun prinsip berimbang ini merupakan kunci sukses pemerintah pada masa itu untuk mempertahankan stabilitas, khususnya di bidang ekonomi. Karena pemerintah dapat menghindari terjadinya inflasi, yang sumber pokoknya karena terjadi anggaran yang defisit. Sehingga pembangunanpun terus dapat berjalan.
Prinsip lain yang diterapkan pemerintah Orde Baru adalah prinsip fungsional. Prinsip ini merupakan pengaturan atas fungsi anggaran pembangunan dimana pinjaman luar negeri hanya digunakan untuk membiayai anggaran belanja pembangunan. Karena menurut pemerintah, pembangunan memerlukan dana investasi yang besar dan tidak dapat seluruhnya dibiayai oleh sumber dana dalam negeri.
Pada dasarnya kebijakan ini sangat bagus, karena pinjaman yang digunakan akan membuahkan hasil yang nyata. Akan tetapi, dalam APBN tiap tahunnya cantuman angka pinjaman luar negeri selalu meningkat. Hal ini bertentangan dengan keinginan pemerintah untuk selalu meningkatkan penerimaan dalam negeri. Dalam Keterangan Pemerintah tentang RAPBN tahun 1977, Presiden menyatakan bahwa dana-dana pembiayaan yang bersumber dari dalam negeri harus meningkat. Padahal, ketergantungan yang besar terhadap pinjaman luar negeri akan menimbulkan akibat-akibat. Diantaranya akan menyebabkan berkurangnya pertumbuhan ekonomi.
Hal lain yang dapat terjadi adalah pemerataan ekonomi tidak akan terwujud. Sehingga yang terjadi hanya perbedaan penghasilan. Selain itu pinjaman luar negeri yang banyak akan menimbulkan resiko kebocoran, korupsi, dan penyalahgunaan. Dan lebih parahnya lagi ketergantungan tersebut akan menyebabkan negara menjadi malas untuk berusaha meningkatkan penerimaan dalam negeri.
Prinsip ketiga yang diterapakan oleh pemerintahan Orde Baru dalam APBN adalah, dinamis yang berarti peningkatan tabungan pemerintah untuk membiayai pembangunan. Dalam hal ini pemerintah akan berupaya untuk mendapatkan kelebihan pendapatan yang telah dikurangi dengan pengeluaran rutin, agar dapat dijadikan tabungan pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah dapat memanfaatkan tabungan tersebut untuk berinvestasi dalam pembangunan.
Kebijakan pemerintah ini dilakukan dengan dua cara, yaitu derelgulasi perbankan dan reformasi perpajakan. Akan tetapi, kebijakan demikian membutuhkan waktu dan proses yang cukup lama. Akibatnya, kebijakan untuk mengurangi bantuan luar negeri tidak dapat terjadi karena jumlah pinjaman luar negeri terus meningkat. Padahal disaat yang bersamaan persentase pengeluaran rutin untuk membayar pinjaman luar negeri terus meningkat. Hal ini jelas menggambarkan betapa APBN pada masa pemerintahan Orde Baru sangat bergantung pada pinjaman luar negeri. Sehingga pada akhirnya berakibat tidak dapat terpenuhinya keinginan pemerintah untuk meningkatkan tabungannya.

  
Daftar Pustaka
Departemen Pertanian. 1993. Presiden Soeharto dan Pembangunan Pertanian. Jakarta : PT Citra Media Persada.
http://eh.net/encyclopedia/article/touwen.indonesia diakses pada tanggal 12 Desember 2010 pukul 23.00 WIB

RUNTUHNYA KERAJAAN MAJAPAHIT


( Sirna Ilang Kretaning Bumi )

Kehancuran Kerajaan Majapahit, yang di sertai tumbuhnya negara-negara Islam di Bumi Nusantara, menyimpan banyak sekali fakta sejarah yang sangat menarik untuk diungkap kembali. Sebagai kerajaan Hindu terbesar di tanah Jawa, Majapahit bukan saja menjadi romantisme sejarah dari puncak kemajuan peradaban Hindu-Jawa, sudah menjadi bukti sejarah tentang pergulatan politik yang terjadi di tengah islamisasi pada masa peralihan.
Keruntuhan Kerajaan Majapahit banyak mengantarkan suatu peradaban bagi orang China dalam proses islamisasi di Nusantara. Stigma yang kecenderungan para sejarawan dalam mengungkapkan bahwa kedatangan Islam di Indonesia lebih pada kecenderungan orang Arablah yang berjasa sebagai penyebar Islam, sehingga tidak pernah melirik, orang China pernah andil dalam membangun peradaban Islam.
Ketika Majapahit didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah mulai memasuki nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit di seluruh nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan agama Islam, yaitu Kesultanan Malaka, mulai muncul di bagian barat nusantara. Catatan sejarah dari China, Portugis, dan Italia mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, penguasa dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M.
Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Namun demikian, yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana.
Peristiwa keruntuhan Majapahit yang berpusat di Mojokerto diyakini terjadi tahun 1478, namun sering diceritakan dalam berbagai versi, antara lain:
§ Raja terakhir adalah Brawijaya. Ia dikalahkan oleh Raden Patah dari Demak. Brawijaya mengundurkan diri dan pindah ke gunung Lawu, kemudian masuk agama Islam melalui Sunan Kalijaga, dimana pengikut setianya yaitu Sabdapalon dan Noyogenggong sangat menentang kepindahan agamanya.

Sehingga, dikenal adanya semacam sumpah dari Sabdopalon dan Noyogenggong, yang salah satunya mengatakan bahwa sekitar Teori ini muncul berdasarkan penemuan Kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong.

500 tahun kemudian, akan tiba waktunya, hadirnya kembali agama budi, yang kalau ditentang, akan menjadikan tanah Jawa hancur lebur luluh lantak.

· Ada pula yang mengisahkan Brawijaya melarikan diri ke Bali. Meskipun teori yang bersumber dari naskah-naskah babad dan serat ini uraiannya terkesan tidak masuk akal, namun sangat populer dalam masyarakat Jawa.

§ Raja terakhir adalah Bhre Kertabhumi. Ia dikalahkan oleh Girindrawardhana Dyah Ranawijaya alias Bhatara Wijaya. Teori ini muncul berdasarkan penemuan prasasti Petak yang mengisahkan peperangan antara keluarga Girindrawardhana Dyah melawan Majapahit.

§ Raja terakhir adalah Bhre Pandansalas yang dikalahkan oleh anak-anak Sang Sinagara. Teori ini muncul karena Pararaton tidak menyebutkan secara tegas apakah Bhre Kertabhumi adalah raja terakhir Majapahit. Selain itu kalimat sebelumnya juga terkesan ambigu, apakah yang meninggalkan istana pada tahun 1390 Saka (1468 M) adalah Pandansalas, ataukah anak-anak Sang Sinagara. Teori yang menyebut Pandansalas sebagai raja terakhir mengatakan kalau pada tahun 1478, anak-anak Sang Sinagara kembali untuk menyerang Majapahit. Jadi, menurut teori ini, Pandansalas mati dibunuh Bhre Kertabhumi dan sudara-saudaranya.

§ Majapahit runtuh tahun 1478, ketika Girindrawardhana memisahkan diri dari Majapahit dan menamakan dirinya sebagai raja Wilwatikta Daha Janggala Kediri. Tahun peristiwa tersebut di tulis dalam Candrasangkala yang berbunyi “Hilang sirna kertaning bhumi”.

§ Pendapat lain menjelaskan Majapahit runtuh karena diserang oleh Demak yang dipimpin oleh Adipati Unus tahun 1522.

Kenyataan sejarah kadang-ka-dang terlalu pahit untuk ditelan dan terlalu pedas dirasakan. Sejarah adalah kaca benggala yang memuat berbagai fakta yang pernah terjadi pada masa silam. Segala hal yang telah tergores dalam kaca sejarah tak lagi bisa terhapus. Orang yang tidak senang mungkin akan berusaha untuk menyelubungi atau melupakannya, tetapi tidak akan mampu melenyapkannya. Orang dapat membuat berbagai macam tafsir, tetapi fakta sejarah yang ditafsirkan tak akan berubah.
Begitu pula sejarah keruntuhan Majapahit, yang diiringi pertumbuhan negara-negara Islam di Nusantara, menyimpan banyak sekali fakta sejarah yang menarik diungkit kembali. Sebagai kerajaan tertua di Jawa, Majapahit bukan cuma menjadi romantisme sejarah dari puncak kemajuan peradaban Hindu-Jawa, melainkan juga bukti sejarah tentang pergulatan politik yang terjadi di tengan Islamisasi pada masa peralihan menjelang dan sesudah keruntuhannya.
Ada beberapa pendapat yang menjelaskan bagaimana Kerajaan Majaphit yang begitu besar akhirnya runtuh. Pendapat-pendapat tersebut kami uraikan sebagai berikut :

1. Penyebaran Agama Islam
Sebelum 1450, agama Islam telah memperoleh tempat berpijak di istana Majapahit di Jawa Timur. Van Leur memperkirakan hal ini ditolong oleh adanya disintegrasi budaya Brahma di India. Surabaya (Ampel) menjadi pusat belajar Islam dan dari sana para pengusaha Arab yang terkenal meluaskan kekuasaan mereka. Jatuhnya kerajaan Jawa yaitu kerajaan Majapahit pada tahun 1468 dikaitkan dengan intrik dalam keluarga raja karena fakta bahwa putra raja, Raden Patah masuk Islam.
Tidak seperti pemimpin-pemimpin Hindu, para misionaris Islam mendorong kekuatan militer supaya memperkuat kesempatan-kesempatan mereka. Memang tidak ada tentara asing yang menyerbu Jawa dan memaksa orang untuk percaya. Namun dipergunakan kekerasan untuk membuat para penguasa menerima iman Muhammad. Baik di Jawa Timur maupun Jawa Barat, pemberontakan dalam keluarga-keluarga raja digerakkan oleh tekanan militer Islam. Ketika para bangsawan berganti keyakinan, maka rakyat akan ikut. Meskipun demikian, kita harus mengingat apa yang ditunjukkan Vlekke bahwa perang-perang keagamaan jarang terjadi di sepanjang sejarah Jawa.
Kedatangan Islam ke Jawa Di Gresik (daerah Leran) ditemukan batu bertahun 1082 Masehi berhuruf Arab yang menceritakan bahwa telah meninggal seorang perempuan bernama Fatimah binti Maimun yang beragama Islam. Lalu disekitar tahun 1350 saat memuncaknya kebesaran Majapahit, di pelabuhan Tuban dan Gresik banyak kedatangan para pedagang Islam dari India dan dari kerajaan Samudra (Aceh Utara) yang juga awalnya merupakan bagian dari Majapahit, disamping para pedagang Majapahit yang berdagang ke Samudra. Juga menurut cerita, ada seorang putri Islam berjuluk Putri Cempa dan Putri Cina yang menjadi isteri salah satu raja Majapahit.
Sangat toleransinya Majapahit terhadap Islam terlihat dari banyaknya makam Islam di desa Tralaya, dalam kota kerajaan, dengan angka tertua di batu nisan adalah tahun 1369 (saat Hayam Wuruk memerintah).
Yang menarik, walau kuburan Islam tetapi bentuk batu nisannya seperti kurawal yang mengingatkan kala-makara, berangka tahun huruf Kawi, yang berarti bahwa di abad XIV Islam walau agama baru bagi Majapahit tetapi sebagai unsur kebudayaan telah diterima masyarakat. Diketahui pula bahwa para pendatang dari barat maupun orang-orang Tionghoa ternyata sebagian besar beragama Islam, yang terus berkembang dan mencapai puncaknya di abad XVI saat kerajaan Demak.

Wali Sanga (9)
Sunan Ampel
Mereka yang dianggap sebagai penyiar terpenting yang sangat giat menyebarkan agama Islam diberi julukan Wali-Ullah dan di Jawa dikenal sebagai Wali Sanga (9), yang merupakan dewan Dakwah/Mubaligh. Kelebihan mereka dibanding kepercayaan/agama penduduk lama adalah tentang kekuatan bathin yang lebih, ilmu yang tinggi dan tenaga gaib. Sehingga mereka selalu dihubungkan dengan tasawwuf serta sangat kurang dalam pengajaran fiqh ataupun qalam. Mereka tidak hanya berkuasa dalam agama, tapi juga dalam hal pemerintahan dan politik.
Syeh Siti Jenar adalah wali serba kontraversial, dari mulai asal muasal yang muncul dengan berbagai versi, ajarannya yang dianggap menyimpang dari agama Islam tapi sampai saat ini masih dibahas di berbagai lapisan masyarakat, masih ada pengikutnya, sampai dengan kematiannya yang masih dipertanyakan caranya termasuk dimana ia wafat dan dimakamkan. Sunan Tembayat atau adipati Pandanarang yang menggantikan Syeh Siti jenar yang wafat (bunuh diri atau dihukum mati).

2. Perang antara Majapahit dan Demak
Pada umumnya, perang antara Majapahit dan Demak dalam naskah babad dan serat hanya terjadi sekali, yaitu tahun 1478. Perang ini terkenal sebagai Perang Sudarma Wisuta, artinya perang antara ayah melawan anak, yaitu Brawijaya melawan Raden Patah.
babad dan serat tidak mengisahkan lagi adanya perang antara Majapahit dan Demak sesudah tahun 1478. Padahal menurut catatan Portugis dan Kronik Cina Kuil Sam Po Kong, perang antara Demak melawan Majapahit terjadi lebih dari satu kali. Dikisahkan, pada tahun 1517 Pa-bu-ta-la bekerja sama dengan bangsa asing di Moa-lok-sa sehingga mengundang kemarahan Jin Bun. Yang dimaksud bangsa asing ini adalah orang-orang Portugis di Malaka. Jin Bun pun menyerang Majapahit. Pa-bu-ta-la kalah namun tetap diampuni mengingat istrinya adalah adik Jin Bun.
Sunan Bonang
Perang ini juga terdapat dalam catatan Portugis. Pasukan Majapahit dipimpin bupati Tuban bernama Pate Vira, seorang muslim. Selain itu Majapahit juga menyerang Giri Kedaton, sekutu Demak di Gresk. Namun, serangan ini gagal di mana panglimanya akhirnya masuk Islam dengan gelar Kyai Mutalim Jagalpati. Sepeninggal Raden Patah alias Jin Bun tahun 1518, Demak dipimpin putranya yang bernama Pangeran Sabrang Lor sampai tahun 1521. Selanjutnya yang naik takhta adalah Sultan Trenggana adik Pangeran Sabrang Lor.
Menurut Kronik Cina, pergantian takhta ini dimanfaatkan oleh Pa-bu-ta-la untuk kembali bekerja sama dengan Portugis. Perang antara Majapahit dan Demak pun meletus kembali. Perang terjadi tahun 1524. Pasukan Demak dipimpin oleh Sunan Gudung, anggota Wali Sanga yang juga menjadi imam Masjid Demak. Dalam pertempuran ini Sunan Ngudung tewas di tangan Raden Kusen, adik tiri Raden Patah yang memihak Majapahit .
Perang terakhir terjadi tahun 1527. Pasukan Demak dipimpin Sunan Kudus putra Sunan Ngudung, yang juga menggantikan kedudukan ayahnya dalam dewan Wali Sanga dan sebagai imam Masjid demak. Dalam perang ini Majapahit mengalami kekalahan. Raden Kusen adipati Terung ditawan secara terhormat, mengingat ia juga mertua Sunan Kudus. Menurut kronik Cina, dalam perang tahun 1527 tersebut yang menjadi pemimpin pasukan Demak adalah putra Tung-ka-lo (ejaan Cina untuk Sultan Trenggana), yang bernama Toh A Bo.
Dari berita di atas diketahui adanya dua tokoh muslim yang memihak Majapahit, yaitu Pate Vira dan Raden Kusen. Nama Vira mungkin ejaan Portugis untuk Wira. Raden Kusen adalah paman Sultan Trenggana raja Demak saat itu. Raden Kusen pernah belajar agama Islam pada Sunan Ampel, pemuka Wali Sanga. Dalam perang di atas, ia justru memihak Majapahit.
Berita ini membuktikan kalau perang antara Demak melawan Majapahit bukanlah perang antara agama Islam melawan Hindhu sebagaimana yang sering dibayangkan orang, melainkan perang yang dilandasi kepentingan politik antara Sultan Trenggana melawan Ranawijaya demi memperebutkan kekuasaan atas Pulau Jawa.
Menurut Kronik Cina, Pa-bu-ta-la meninggal dunia tahun 1527 sebelum pasukan Demak merebut istana. Peristiwa kekalahan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya ini menandai berakhirnya riwayat Kerajaan Majapahit . Para pengikutnya yang menolak kekuasaan Demak memilih pindah ke Pulau Bali.


3. Serbuan Keling pimpinan Girindrawardhana

"Prasasti Petak" dan "Trailokyapuri" menerangkan, raja Majapahit terakhir adalah Dyah Suraprahawa, runtuh akibat serangan tentara keling pimpinan Girindrawardhana pada tahun 1478 masehi, sesuai Pararaton. Sejak itu Majapahit telah berhenti sebagai ibu kota kerajaan. Dengan demikian tak mungkin Majapahit runtuh karena serbuan Demak. Sumber sejarah Portugis tulisan Tome Pires juga menyebutkan bahwa Kerajaan Demak sudah berdiri dijaman pemerintahan Girindrawardhana di Keling.

Saat itu Tuban, Gresik, Surabaya dan Madura serta beberapa kota lain dipesisir utara Jawa berada dalam wilayah kerajaan Kediri, sehingga tidak mungkin seperti diceritakan dalam Babad Jawa, Raden Patah mengumpulkan para bupati itu untuk menggempur Majapahit. Penggubah Babad Tanah Jawi tampaknya mencampur adukkan antara pembentukan kerajaan Demak pada tahun 1478 dengan runtuhnya Kediri oleh serbuan Demak dijaman pemerintahan Sultan Trenggano 1527.

Penyerbuan Sultan Trenggano ini dilakukan karena Kediri mengadakan hubungan dengan Portugis di Malaka seperti yang dilaporkan Tome Pires. Demak yang memang memusuhi Portugis hingga menggempurnya ke Malaka tidak rela Kediri menjalin hubungan dengan bangsa penjajah itu.

Setelah Kediri jatuh (Bukan Majapahit !) diserang Demak, bukan lari kepulau Bali seperti disebutkan dalam uraian Serat Kanda, melainkan ke Panarukan, Situbondo setelah dari Sengguruh, Malang. Bisa saja sebagian lari ke Bali sehingga sampai sekarang penduduk Bali berkebudayaaan Hindu, tetapi itu bukan pelarian raja terakhir Majapahit seperti disebutkan Babad itu. Lebih jelasnya lagi raden Patah bukanlah putra Raja Majapahit terakhir seperti disebutkan dalam Buku Babad dan Serat Kanda itu, demikian Dr. Slamet Muljana.

Sejarawan Mr. Moh. Yamin dalam bukunya "Gajah Mada" juga menyebutkan bahwa runtuhnya Brawijaya V raja Majapahit terakhir, akibat serangan Ranawijaya dari kerajaan Keling, jadi bukan serangan dari Demak. Uraian tentang keterlibatan Mahapatih Gajah Mada memimpin pasukan Majapahit ketika diserang Demak 1478 itu sudah bertentangan dengan sejarah. Gajah Mada sudah meninggal tahun 1364 Masehi atau 1286 Saka.

Penuturan buku "Dari Panggung Sejarah" terjemahan IP Simanjuntak yang bersumber dari tulisan H.J. Van Den Berg ternyata juga runtuhnya Majapahit bukan akibat serangan Demak atau tentara Islam. Ma Huan, penulis Tionghoa Muslim, dalam bukunya "Ying Yai Sheng Lan" menyebutkan, ketika mendatangi Majapahit tahun 1413 Masehi sudah menyebutkan masyarakat Islam yang bermukim di Majapahit berasal dari Gujarat dan Malaka. Disebutkannya, tahun 1400 Masehi saudagar Islam dari Gujarat dan Parsi sudah bermukim di pantai utara Jawa.
Salah satunya adalah Maulana Malik Ibrahim yang dimakamkan di Pasarean Gapura Wetan Kab. Gresik dengan angka tahun 12 Rabi'ul Awwal 882 H atau 8 April 1419 Masehi, berarti pada jaman pemerintahan Wikramawardhana (1389-1429) yaitu Raja Majapahit IV setelah Hayam Wuruk. Batu nisan yang berpahat kaligrafi Arab itu menurut Tjokrosujono (Mantan kepala Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala, Mojokerto), nisan itu asli bukan buatan baru.Salah satu bukti bahwa sejak jaman Majapahit sudah ada pemukiman Muslim diibu kota, adalah situs Kuna Makam Troloyo, Kecamatan Trowulan, Mojokerto, JATIM. Makam-makam Islam disitus Troloyo Desa Sentonorejo itu beragam angka tahunnya, mulai dari tahun 1369 (abad XIV Masehi) hingga tahun 1611 (abad XVII Masehi).
Nisan-nisan makam petilasan di Troloyo ini penuh tulisan Arab hingga mirip prasati. Lafalnya diambil dari bacaan Doa, kalimah Thayibah dan petikan ayat-ayat AlQuran dengan bentuk huruf sedikit kaku. Tampaknya pembuatnya seorang mualaf dalam Islam. Isinya pun bukan bersifat data kelahiran dan kematian tokoh yang dimakamkan, melainkan lebih banyak bersifat dakwah antara lain kutipan Surat Ar-Rahman ayat 26-27.

P.J. Veth adalah sarjana Belanda yang pertama kali meneliti dan menulis makam Troloyo dalam buku JAVA II tahun 1873. L.C. Damais peneliti dari Prancis yang mengikutinya menyebutkan angka tahun pada nisan mulai abad XIV hingga XVI. Soeyono Wisnoewhardono, Staf Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala di Trowulan mengatakan, nisan-nisan itu membuktikan ketika kerajaan Majapahit masih berdiri, orang-orang Islam sudah bermukim secara damai disekitar ibu kota. Tampak jelas disini agama Islam masuk kebumi Majapahit penuh kedamaian dan toleransi.

Satu situs kepurbakalaan lagi dikecamatan trowulan yakni di Desa dan kecamatan Trowulan adalah Makam Putri Cempa. Menurut Babad Tanah jawi, Putri Cempa (Jeumpa, bahasa Aceh) adalah istri Prabu Brawijaya yang beragama Islam. Dua nisan yang ditemukan dikompleks kekunaan ini berangka tahun 1370 Saka (1448 Masehi) dan 1313 Saka (1391 Masehi). Dalam legenda rakyat disebutkan dengan memperistri Putri Cempa itu, sang Prabu sebenarnya sudah memeluk agama Islam. Ketika wafat ia dimakamkan secara Islam dimakam panjang (Kubur Dawa).

Pintu Gerbang ini merupakan peninggalan kerajaan Mojopahit yang di angkat oleh Kebonyabrang sebagai persyaratan untuk diakui sebagai Putra Sunan Muria, namun setelah sampai di Desa Rondole, Kebonyabrang tidak kuat melanjutkan perjalanan. Akhirnya Sunan Muria memerintahkan bahwa perjalanan tidak usah diteruskan dan Kebonyabrang disuruh menunggu pintu gerbang tersebut sampai meniggal dunia Lokasi Desa Muktiharjo Kec Margorejo, sejauh 4 km dari kota Pati
Dusun Unggah-unggahan jarak 300 meter dari makam Putri Cempa bangsawan Islam itu. Dari fakta dan situs sejarah itu, tampak bukti otentik tentang betapa tidak benarnya bahwa Islam dikembangkan dengan peperangan. Justru beberapa situs kesejarahan lain membuktikan Islam sangat toleran terhadap agama lain (termasuk Hindu) saat Islam sudah berkembang pesat ditanah Jawa. Dikompleks Sunan Bonang di Tuban, Jawa Timur misalnya, berdiri tegak Candi Siwa Budha dengan angka tahun 1400 Saka (1478 masehi) yang kini letaknya berada dibelakang kantor Pemda tuban. Padahal, saat itu sudah berdiri pondok pesantren asuhan Sunan Bonang. Pondok pesantren dan candi yang berdekatan letaknya ini dilestarikan dalam sebuah maket kecil dari kayu tua yang kini tersimpan di Museum Kambang Putih, Tuban.
Di Kudus, Jawa Tengah, ketika Sunan Kudus Ja'far Sodiq menyebarkan ajaran Islam disana, ia melarang umat Islam menyembelih sapi untuk dimakan. Walau daging sapi halal menurut Islam tetapi dilarang menyembelihnya untuk menghormati kepercayaan umat Hindu yang memuliakan sapi. Untuk menunjukkan rasa toleransinya kepada umat Hindu, Sunan Kudus menambatkan sapi dihalaman masjid yang tempatnya masih dilestarikan sampai sekarang. Bahkan menara Masjid Kudus dibangun dengan gaya arsitektur candi Hindu.

4. Keruntuhan Majapahit versi Serat Darmagatul
Prabu Brawijaya adalah raja terakhir Majapahit dan menikah dengan Putri Campa yang beragama Islam. Putri inilah yang membuat Brawijaya tertarik Islam.
Ketika sedang bersama, sang putri selalu membeberkan keutamaan agama islam. Ketika dekat sang prabu, tiada kata lain yang terucap dari Putri Campa kecuali kemuliaan agama Islam. Tak lama kemudian datanglah kemenakan Putri Campa bernama Sayid Rahmad. Ia mohon izin menyebarkan ajaran Islam di Majalengka. Sang Prabu mengabulkan. Sayid Rahmad tinggal di desa Ngampeldenta- Surabaya. Sayid Kramat adalah maulana Arab keturunan Nabi Mohammad Rasulullah. Orang-orang Jawa banyak yang tertarik kepadanya. Penduduk Jawa yang tinggal di pesisir Barat sampai Timur meninggalkan agama Budha dan memeluk agama Islam. Agama Buddha telah mengakar di tanah Jawa lebih 1.000 tahun. Menyembah kepada Budi Hawa. Budi adalah Dzat Tuhan. Sedangkan Hawa adalah minat hati. Di wilayah Blambangan sampai ke arah Barat menuju Banten pun banyak yang mengikuti ajaran Islam. Banyak ulama dari seberang datang ke Majalengka. Menghadap sang prabu mohon izin tinggal di wilayah pesisir. Permohonan itu dikabulkan. Akhirnya berkembang dan banyak orang Jawa memeluk agama Islam..
Prabu Brawijaya mempunyai seorang putra bernama Raden Patah. Ia lahir di Palembang dari rahim seorang Putri Campa. Ketika Raden Patah dewasa, ia menghadap kepada ayahnya bersama saudara lain ayah tetapi masih sekandung, bernama Raden Kusen (Husein ). Sang Prabu bingung memberi nama putranya. Diberi nama dari jalur ayah, beragama Buddha, keturunan raja yang lahir di pengunungan. Dari jalur ibu disebut Kaotiang. Sedangkan menurut orang Arab, ia harus dinamakan Sayid atau Sarib. Sang Prabu memanggil patih dan abdi lain untuk dimintai pertimbangan. Sang patih pun berpendapat, bila mengikuti leluhur kuno, putra sang Prabu itu dinamakan Bambang. Tetapi karena ibunya orang Cina, lebih baik dinamakan Babah, yang artinya lahir di tempat lain. Pendapat patih ini disetujui abdi yang lain. Sang Prabu pun berkata kepada seluruh pasukan bahwa putranya diberi nama Babah Patah. Sampai saat ini, keturunan pembauran antara Cina dan Jawa disebut Babah. Meski tidak menyukai nama pemberian ayahnya itu, Raden Patah takut untuk menentangnya. Babah Patah kemudian diangkat menjadi Bupati di Demak. Ia memimpin para bupati di sepanjang pantai Demak ke Barat. Ia dinikahkan dengan cucu Kyai Ageng Ngampel.
Babah Patah tinggal di desa Bintara, Demak. Babah Patah telah beragama Islam sejak di Palembang. Di Demak ia diminta untuk menyebarkan agama Islam. Raden Kusen diangkat menjadi Adipati di Terung, dengan nama baru Raden Arya Pecattanda. Ajaran Islam makin berkembang. Banyak ulama berpangkat mendapat gelar Sunan. Sunan artinya budi. Sumber pengetahuan tentang baik dan buruk. Orang yang berbudi baik patut dimintai ajarannya tentang ilmu lahir batin. Pada waktu itu para ulama baik budinya. Belum memiliki kehendak yang jelek. Banyak yang mengurangi makan dan tidur. Sang Prabu Brawijaya berpikir, para ulama bersarak Budha itu mengapa disebut Sunan. Mengapa juga masih mengurangi makan dan tidur.
Penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh Sunan Benang di daerah Kediri mendapatkan tantangan dari Ki Buta Locaya penguasa di daerah tersebut. Kemudian Sunan Benang menuju ke desa Bogem, dan merusak arca kuda berkepala dua karya Prabu Jayabaya. Perusakan arca tersebut mendapatkan tentangan Ki Buta Locaya yang mendesak agar Sunan Benang pergi dari daerah itu. Patih Majapahit menghadap Prabu Brawijaya dan memberitahukan bahwa tanah Kertasana rusak akibat perbuatan Sunan Benang. Akhirnya, Prabu Brawijaya memerintahkan agar mengusir kaum Islam dari daerah Majapahit, kecuali kaum muslimin yang tinggal di Ngampelgading dan Demak.
Sunan Bonang
Sunan Benang dan Sunan Giri menyingkir ke Tuban dan berlindung ke Demak. Pada waktu itu sunan Bonang akan pergi ke Kediri, diantar dua sahabatnya. Di utara Kediri, yakni di daerah Kertosono, rombongan terhalang air sungai Brantas yang meluap. Sunan Bonang dan dua sahabatnya menyeberang. Tiba di timur sungai, Sunan Bonang menyelidiki agama penduduk setempat. Ternyata, kata Ki Bandar, masyarakat daerah itu beragama Kalang, memuliakan Bandung Bondowoso. Menganggap Bandung Bondowoso sebagai nabi mereka. Hari Jumat Wage wuku wuye, adalah hari raya mereka.
" Kalau begitu, orang disini semua beragama Gedhah. Artinya, tidak hitam, putih pun tidak. Untuk itu tempat ini kusebut Kota Gedhah." Sejak itu, daerah di sebelah utara Kediri ini bernama Kota Gedhah.
Waktu sholat dhuhur tiba. Sunan Bonang ingin mengambil air wudlu. Namun karena sungai banjir dan airnya keruh, maka Sunan Bonang meminta salah satu sahabatnya untuk mencari air simpanan penduduk. Salah satu sahabatnya pergi ke desa untuk mencari air yang dimaksud. Sesampai di desa Patuk ada sebuah rumah. Tak terlihat laki-laki di sini. Hanya ada seorang gadis berajak dewasa sedang menenun. Perawan itu terkejut. Ia menoleh. Dilihatnya seorang laki-laki. Ia salah paham. Menyangka lelaki itu bermaksud menggodanya.
Gadis itu tidak mau memberikan air dan mengusir pemuda tersebut. Pemuda tersebut langsung pergi dan melaporkan kejadian tersebut kepada Sunan Bonang. Mendengar penuturan itu Sunan Bonang naik pitam. Keluarlah kata-kata keras. Sunan mengutuk tempat itu akan sulit air.
Gadis-gadisnya tidak akan mendapat jodoh sebelum usianya tua. Begitu juga dengan kaum jejakanya. Akibat kutukan Sunan Bonang aliran sungai Brantas menyusut dan berbelok arah. Membanjiri desa-desa, hutan, sawah, dan kebun. Sampai kini daerah Gedhah sulit air, perempuan-perempuan nya menjadi perawan tua, begitu juga kaum laki-lakinya.
Sunan Bonang melanjutkan perjalanannya ke Kediri. Di daerah ini ada demit (mahluk halus) bernama Nyai Plencing. Menempati sumur Tanjungtani dan sedang dikerumuni anak cucunya. Mereka melapor, bahwa ada orang bernama Sunan Bonang suka mengganggu kaum mahluk halus dan menonjolkan kesaktian.
Anak cucu Nyai Plencing mengajak Nyai Plencing membalas Sunan Bonang. Caranya dengan meneluh dan menyiksanya sampai mati agar tidak suka mengganggu lagi. Mendengar usul itu Nyai Plencing langsung menyiapkan pasukan, dan berangkat menemui Sunan Bonang. Tetapi anehnya, para mahluk alus tersebut tidak bisa mendekati Sunan Bonang. Badannya terasa panas seperti dibakar. Karena usahanya gagal Nyai Plecing kemudian pergi ke Kediri menemui rajanya yang bernama Buta Locaya, tinggal di Selabale, di kaki Gunung Wilis. Buta Locaya semula adalah patih raja Sri Jayabaya, bernama Kyai Daha. Ia dikenal sebagai cikal bakal Kediri. Ketika Raja Jayabaya memerintah daerah ini, namanya diminta untuk nama negara. Ia diberi nama Buta Locaya dan diangkat patih Prabu Jayabaya. Buta sendiri artinya bodoh. Lo bermakna kamu. Dan Caya dapat dipercaya. Bila disambung, maka Buta Locaya mempunyai makna orang bodoh yang dapat dipercaya.
Ketika Nyai Plencing datang, Buta Locaya sedang duduk di kursi emas beralas kasur babut dihias bulu merak. Ia sedang ditemani patihnya, Megamendung dan anaknya, Paji Sektidiguna dan Panji Sarilaut. Ia amat terkejut melihat Nyai Plencing yang datang sambil menangis. Ia melaporkan kerusakan-kerusakan di daerah utara Kediri yang disebabkan ulah orang dari Tuban bernama Sunan Bonang. Nyai Plencing juga memaparkan kesedihan para mahluk halus dan penduduk daerah itu. Mendengar laporan Nyai Plencing Buta Locaya murka. Tubuhnya bagaikan api Ia memanggil anak cucu dan para jin untuk melawan Sunan Bonang. Para mahluk halus bersiap berangkat. Lengkap dengan peralatan perang.Mengikuti arus angin, mereka pun sampai di desa Kukum. Di tempat ini Buta Locaya menjelma menjadi manusia, berganti nama Kyai Sumbre.
Sementara mahluk halus yang beribu-ribu jumlahnya tidak menampakkan diri.Menghadang perjalanan Sunan Bonang yang datang dari utara. Sebagai orang sakti, Sunan Bonang tahu ada raja mahluk halus sedang menghadang perjalanannya. Tubuh Sunan yang panas menjelma bagai bara api. Para mahluk halus yang beribu-ribu itu menjauh. Tidak tahan menghadapi wibawa Sunan Bonang.
Namun tatkala berhadapan dengan Kyai Sumbre, Sunan Bonang juga merasakan hawa panas. Dua sahabatnya pingsan. Akhirnya terjadi perdebatan sengit antara Buta Locaya dengan Sunan Bonang. Buta Locaya mengancam akan mengadukan perbuatannya tersebut kepada Raja Majalengka. Sunan Bonang tidak takut akan ancaman tersebut dan tidak takut pada Raja Majalengka.
Ketika Buta Locaya mendengar kata-kata itu, ia pun marah. Buta Locaya kemudian memuntahkan kemarahannya dengan mengumbar segala kejelekan dari Sunan Bonang. Akhir kata Buta Locaya meminta kepada Sunan Bonang untuk mengembalikan keadaan desa Gedah dan sungai Brantas seperti semula. Dengan ancaman jika hal tersebut tidak dipenuhi maka semua orang Jawa yang beragama Islam akan diteluh sampai mati. Begitu mendengar kemarahan Buta Locaya, Sunan Bonang menyadari kesalahannya. Namun sebagai seorang sunan kata kata yang telah diucapkan akan terjadi dan tidak bisa ditarik kembali. Sunan Bonang hanya bisa membatasi saja, Kelak, bila telah berlangsung 500 tahun, sungai ini dapat kembali seperti semula.
Buta Locaya tidak bisa menerima hal tersebut dan minta keadaan tersebut harus dikembalikan sekarang juga. Akhirnya karena tidak adanya penyelesaian Sunan Bonang mohon diri untuk berjalan kearah timur.
Buah Sambi ini kunamakan cacil karena keadaan ini seperti anak kecil yang sedang berkelahi. Mahluk halus dan manusia saling berebut kebenaran tentang kerusakan yang ada di daerah. Kumohonkan kepada Tuhan, buah sambi menjadi dua macam, daging buahnya menjadi asam. Bijinya mengeluarkan minyak sebagai lambang muka yang masam. Tempat perjumpaan ini kuberi nama Singkal di sebelah utara dan di sini bernama Desa Sumbre. Sedangkan tempat kawan-kawanmu di selatan kuberi nama Kawanguran."
Sunan Bonang meloncat ke arah Timur sungai. Sampai saat ini di Kota Gedah ada desa yang bernama Singkal, Sumbre dan Kawanguran. Kawanguran artinya pengetahuan, Singkal artinya susah kemudian menemukan akal.Buta Locaya mengikuti kepergian Sunan Bonang, yang menyaksikan arca Kuda yang berkepala dua di bawah pohon Trenggulun. Banyak buah trenggulun yang berserakan. Sunan Bonang kemudian memegang parang dan kepala arca Kuda itu dipenggalnya. Ketika Buta Locaya melihat Sunan Bonang memenggal kepala arca itu, semakin bertambahlah kemarahannya. Buta Locaya marak karena arca tersebut adalah peninggalan Raja Jayabaya dan arca tersebut sebagai lambang tekad wanita. Kelak di zaman Nusa Srenggi, barang siapa yang melihat arca itu, akan mengetahui tekat para wanita Jawa.
Sunan Bonang kemudian melanjutkan perjalanan kearah utara Sesampai di desa Nyahen, ada patung raksasa perempuan berada di bawah pohon dadap yang berbunga. Sangat banyak dan berguguran di sekitarnya. Patung raksasa itu kelihatan merah menyala, marak oleh bunga yang berjatuhan. Melihat patung itu, Sunan Bonang keheranan. Patung itu berukuran sangat besar. Arca itu tampak duduk ke arah Barat setinggi 16 kaki. Lingkar pinggulnya 10 kaki. Jika dipindahkan tidak akan terangkat oleh 800 orang kecuali dengan alat. Bahu kanannya dipatahkan, dan dahinya dirusak.
Sikap Sunan Bonang yang usil dengan merusak patung tersebut menimbulkan kemarahan Buta Locaya. Menurut Sunan Bonang patung itu dirusak agar tidak disembah banyak orang dan tidak diberi sesaji serta diberi kemenyan. Orang yang memuja berhala itu kafir, rusak lahir batin."
Buta Locaya menjawab bahwa Orang Jawa sudah tahu bahwa itu patung dari batu dan tidak berwujud Tuhan . Patung diberi nyala kemenyan, diberi sesaji, agar para mahluk halus tidak menempati tanah dan kayu yang dapat menghasilkan untuk manusia. Dengan diberi sesajen dan bau-bau yang harum mahluk halus akan merasa nyaman karena alam mahluk halus berbeda dengan alam manusia. Buta Locaya kemudian meluapkan kemarahannya dengan mengungkapkan sisi buruk Sunan Bonang dan mempersilahkan untuk angkat kaki dari daerah Kediri. Sunan Bonang yang kalah berdebat dengan Buta Locaya akhirnya memutuskan untuk pulang kembali keBonang
Prabu Brawijaya amat murka ketika mendapat laporan sang patih tentang adanya surat dari Tumenggung di Kertosono, yang memberitahukan bahwa telah terjadi kerusakan di wilayah itu akibat ulah Sunan Bonang. Segera ia mengutus Patih ke Kertosono, meneliti keadaan sebenarnya. Setelah tiba, sang patih melaporkan semua yang telah terjadi. Namun, ia tak bisa menemukan Sunan Bonang, karena telah mengembara tak tahu kemana.
Saking murkanya, Prabu Brawijaya memutuskan bahwa semua ulama Arab yang ada di Pulau Jawa akan diusir. Hanya di Demak dan Ngampelgading saja yang diperbolehkan tinggal dan menyebarkan agama Islam. Sang Patih juga melaporkan bahwa ulama Giripura telah tiga tahun tidak menghadap untuk menyampaikan upeti, bahkan mendirikan kerajaan sendiri. Sedang ulama santri Giri punya gelar yang melebihi sang Prabu.
Prabu Brawijaya kemudian menyiapkan pasukannya untuk menyerang Giri. Pada penyerangan tersebut giri berhasil dihancurkan sehingga Sunan Bonang dan Sunan giri memutuskan meminta perlindungan dari Raden Patah Bupati Demak.
Sunan Giri
Sunan Bonang kemudian menghasut Raden Patah untuk memerangi Majapahit melawan ayahnya sendiri. Raden Patah pada awalnya bimbang akan hal tersebut. Bagaimanapun Prabu Brawijaya sebagai ayahnya telah banyak memberikan kebahagian dan memberikan kedudukan sebagai Bupati Demak serta kebebasan menyebarkan agama Islam. Raden Patah juga ingat pesan kakeknya di ampelgading untuk tidak berani melawan orang tua walaupun orang tuanya tersebut kafir.Namun karena para nabi terus menyakinkan dengan mengungkap sisi buruk Prabu Brawijaya kepada Raden Patah diantaranya pemberian nama babah yang artinya tidak baik dan melawan ayahnya yang kafir tersebut bukanlah suatu dosa maka luluhlah hati Raden Patah. Para Nabi juga meyakinkan bahwa Raden Patahlah yang berhak menjadi Raja menggantikan Prabu Brawijaya.
Para Nabi memberikan saran untuk melaksanakan penyerbuan tersebut dengan cara yang halus. Raden Patah diminta untuk menghadap ayahnya pada acara grebeg dengan mengajak seluruh Bupati , para sunan dan pasukan Demak.
Raden Patah kemudian mengumpulkan para Bupati dan Sunan di pesisir utara datang semua ke Demak Sunan Bonang berkata kepada semua yang hadir di situ, bahwa Bupati Demak akan dinobatkan sebagai raja dan akan menggempur Majapahit. Semua sunan dan bupati setuju hanya Syech Siti Jenar yang tidak setuju. Raja baru itu bergelar Prabu Jimbuningrat atau Sultan Syah Alam Akbar Khalifaturrasul Amirilmukminin Tajudil Abdulhamid Khak, atau Sultan Adi Surya Alam di Bintoro. Pasukannya berjumlah tiga puluh ribu lengkap dengan senjata perang..
Patihnya dari atas angin bernama Patih Mangkurat. Esok harinya, Senopati Jimbuningrat bergegas dengan perangkat senjata perang berangkat menuju Majapahit diiringkan para sunan dan bupati. Berjalan berarakan seperti Grebeg Maulud. Semua pasukan tak ada yang mengetahui tujuan itu selain para tumenggung, para sunan dan para ulama. Sunan Bonang dan Sunan Giri tidak ikut karena telah lanjut usia. Sepulang dari Giri, sang patih melaporkan hasil penyerbuannya terhadap Giri yang dipimpin oleh orang Cina muslim bernama Setyasena. Giri berhasil ditaklukkan dan. Senapati Setyasena menemui ajal. Pasukan Giri melarikan diri ke hutan dan gunung. Sebagian juga berlayar dan lari ke Bonang dan terus diburu oleh pasukan Majapahit. Sunan Giri dan Sunan Bonang yang ikut dalam perahu itu dikira melarikan diri ke Arab dan tidak kembali ke Majapahit.
Maka Sang Prabu memerintahkan patih untuk mengutus ke Demak lagi, memburu Sunan Giri dan Sunan Bonang karena Sunan Bonang telah merusak tanah Kertosono. Sedangkan Sunan Giri telah memberontak, tidak mau menghadap raja, bertekat melawan dengan perang. Sang Patih keluar dari hadapan Raja untuk kemudian memanggil duta yang akan dikirim ke Demak.

Tetapi, tiba-tiba datang utusan dari Bupati Pati menyerahkan surat, mengabarkan bahwa Adipati Demak Babah Patah telah menobatkan diri sebagai Raja Demak Setelah membaca surat tersebut Kyai Patih sedih sekali, menggeram sambil mengatupkan giginya. Sangat heran kepada orang Islam yang tidak menyadari kebaikan sang raja. Selanjutnya, kyai patih melapor kapada raja untuk menyampaikan isi surat itu. Mendengan laporan patih, Sang Prabu sangat terkejut. Diam membisu, lama tak berkata. Dalam hatinya sangat heran kepada putranya dan para Sunan yang memiliki kemauan seperti itu. Mereka diberi kedudukan akhirnya malah memberontak dan merusak Majapahit.
Sang raja tak habis pikir, alasan apa yang mendasari perbuatan mereka. Dicarinya penalaran-penalaran tetapi tidak tercapai lahir batin. Tidak masuk akal akan perbuatan jelek mereka itu. Pikiran sang raja sangat gelap. Kesedihan itu dikiaskan bagaikan hati kerbau yang habis dimakan kutu babi hutan. Sang Prabu juga bertanya kepada sang Patih, apa alasan Adipati Demak dan para ulama serta bupati tega melawan Majapahit. Kemudian, Sang Prabu berkata bahwa, kejadian itu akibat kesalahannya sendiri. Yang meremehkan agama yang telah berlaku turun-temurun dan begitu mudah terpikat kata-kata Putri Campa, sehingga mengizinkan para ulama menyeberkan agama Islam.
Tentang kedatangan musuh, yaitu santri yang akan merebut kekuasaan, Sang Prabu meminta pertimbangan dari Patih. Sang Prabu kecewa, mengapa hanya untuk menguasai Majapahit harus dengan cara peperangan. Seumpama diminta dengan cara baik-baik pun tentu akan diberikan karena Raja telah lanjut usia. Patih menjawab, lebih baik menyongsong musuh dengan pasukan secukupnya saja. Jangan sampai merusak bala pasukan. Patih diminta memanggil Adipati Pengging dan Adipati Pranaraga karena putra yang ada di Majapahit belum saatnya maju berperang.
Karena segan berperang dengan puteranya sendiri, Prabu Brawijaya eloloskan diri dari istana bersama pengikut yang masih setia yaitu Sabdopalon dan Nayagenggong. Sehingga ketika Raden Patah dan rombongannya (termasuk para Sunan) tiba, istana itu kosong. Atas nasihat Sunan Ampel, untuk menawarkan segala pengaruh raja kafir, diangkatlah Sunan Gresik jadi raja Majapahit selama 40 hari. Sesudah itu baru diserahkan kepada Sultan Bintara untuk diboyong ke Demak.

Perlawanan antara pasukan Prabu Brawijaya dengan Sultan DemakDengan pertempuran sengit itu tentara Majapahit hancur, Kemudian orang-orang Majapahit yang takluk kepada Demak diperintahkan masuk agama Islam. Tentara Demak dibawah pimpinan Raden Imam diperlengkapi dengan senjata sakti "Keris Makripat" pemberian Sunan Giri yang bisa mengeluarkan hama kumbang dan "Badhong" anugerah Sunan Cirebon yang bisa mendatangkan angin ribut. Tentara Majapahit berhasil dipukul mundur sampai keibukota, cuma rumah adipati Terung yang selamat karena ia memeluk Islam.
Setelah Majapahit jatuh, Adipati Terung ditugasi mengusung paseban raja Majapahit ke Demak untuk kemudian dijadikan serambi masjid. Adipati Bintara itu kemudian bergelar "Senapati Jinbun Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidina Panatagama"
Sunan Giri
Raden Patah yang didukung oleh para wali pergi ke Ngampeldenta untuk menghadap neneknya. Neneknya Nyai Ngampeldenta sangat menyesali perbuatan yang dilakukan oleh Raden Patah melawan ayahnya. Ia mempermasalahkan Raden Patah beserta para wali yang tidak baik budi kepada Prabu Brawijaya. Setelah mendengar nasehat dari neneknya tadi, maka Raden Patah sangat sedih dan menyesal atas segala perbuatannya. Akhirnya Sunan Kalijaga diutus untuk mencari Prabu Brawijaya dan memohon kepadanya agar bersedia kembali menjadi raja Majapahit.
Sekembalinya Raden Patah ke Demak, ia disambut dengan gembira. Ia menceritakan hal itu kepada Sunan Benang, akhirnya Sunan Benang memberikan penjelasan secara panjang lebar bahwa perlawanannya terhadap ayahnya itu tidak berdosa, karena ayahnya seorang kafir.
Sunan Kalijaga menjumpai Prabu Brawijaya di Blambangan untuk menyampaikan tugasnya. Dijelaskan pula, bahwa sebenarnya Sultan Demak merasa menyesal atas penyerbuannya ke Kerajaan Majapahit. Ia merasa berdosa melawan ayahnya. Bahkan ia merasa pula bahwa pengangkatannya sebagai Sultan Demak itu juga dari ayahnya. Akan tetapi semuanya telah terjadi, maka Sultan Demak dengan bersedih hati kembali ke Demak.
Karena kepandaian Sunan Kalijaga maka bersedialah Prabu Brawijaya kembali ke Majapahit. Ia sangat tertarik atas keterangan Sunan sehingga prasangka buruk akan agama Islam sedikit banyak hilang.
Bahkan ia bermaksud untuk masuk agama Islam secara lahir maupun batin. Tawaran masuk agama Islam kepada penasehat Prabu Brawijaya, yakni Sabdapalon dan Nayagenggong, berakhir dengan penolakan. Sabdapalon menilai bahwa Prabu Brawijaya telah menyimpang dari para pendahulunya yang melestarikan agama Budha. Menurut Sabdo Palon agama yang ada di Jawa lebih cocok bagi orang Jawa dan orang Jawa tidak selayaknya merasuk agama yang bukan berasal dari Jawa karena agama Jawa tidaklah lebih rendah dari agama Islam. Prabu Brawijaya tidak kuasa melawan bantahan dari Sabdopalon yang ternyata adalah jelmaan mahkluk halus penguasa tanah Jawa yang telah berumur 2300 tahun.
Sunan Kalijaga
Prabu Brawijaya menyesal bahwa telah terbujuk Sunan Kalijaga untuk berpindah agama, namun karena semuanya telah terjadi, Sabdo Palon berpesan agar Prabu Brawijaya tetap menjalankan apa yang telah menjadi pilihannya tersebut. Sabdo Palon juga memberitahukan bahwa kelak penguasa tanah Jawa akan beralih kepada orang yang menjadi asuhan Sabdo Palon. Sabdo Palon kemudian pergi meninggalkan Prabu Brawijaya.
Prabu Brawijaya sangat sedih sepeninggal penasehatnya tersebut namun Sunan Kalijaga berusaha menghibur hati Prabu Brawijaya dgn mengatakan bahwa ajaran agama Islam itu baik dan diridhoi Tuhan. Sunan bersabda bahwa air telaga itu berbau wangi dan terjadilah demikian. Prabu Brawijaya memerintahkan agar mengambil bumbung untuk membawa air wangi tersebut sebagai bekal dalam perjalanan. Perjalanan Prabu Brawijaya diiringi oleh Sunan Kalijaga telah sampai di Sumber waru dan bermalam disana. Pagi harinya air dalam bumbung tersebut masih berbau wangi. Perjalanan kemudian dilanjutkan ke Penarukan dan bermalam disana. Pagi harinya air dalam bumbung masih berbau wangi.
Sesampainya di Besuki bermalam pula disana, namun pada pagi harinya air dalam bumbung tidak lagi berbau wangi tetapi berbau banger, oleh karena itu Prabalingga juga dinamakan Bangerwarih. Prabalingga juga sebagai pertanda bahwa Prabu Brawijaya masuk agama Islam karena terpengaruh tangan orang lain. Setelah selama seminggu dalam perjalanan yang melewati Panarukan, Besuki dan Prabalingga akhirnya sampailah di Ngampeldenta. Sesampainya di Ngampeldenta Prabu Brawijaya memerintahkan agar membuat surat yang ditujukan kepada Sultan Demak supaya datang ke Ngampel Gading.
Prabu Brawijaya juga memerintahkan untuk membuat surat untuk anaknya yaitu Adipati Andayaningrat dan Adipati Ponorogo Bhatara Katong yang meminta kepada mereka tidak menuntut bela atas jatuhnya Kerajaan Majapahit.
Prabu Brawijaya sangat sedih atas jatuhnya Kerajaan Majapahit sehingga menderita sakit yang sangat parah. Menjelang kepergiannya Prabu Brawijaya meminta kepada Sunan Kalijaga untuk menjaga keturunan Raja, dan terhadap Raden Patah yang belum juga datang memenuhi panggilan ayahnya Prabu Brawijaya hanya akan memberi ijin memerintah kepada Sultan demak tersebut sampai dua keturunan saja. Hal tersebut terbukti bahwa setalah Raden Parah memerintah maka pemerintahan tersebut hanya sampai di dua keturunannya saja yaitu :
1. Adipari Unus/ Pangeran Sabrang Lor (1518)
2. Pangeran Trenggono (1548)
Setelah wafatnya Pangeran Trenggono terjadi perebutan kekuasaan antara adiknya dan putranya bernama pangeran Prawoto yang bergelar Sunan Prawoto (1549). Sang adik berjuluk pangeran Seda Lepen terbunuh di tepi sungai dan Prawoto beserta keluarganya dihabisi oleh anak dari pangeran Seda Lepen yang bernama Arya Panangsang.
Tahta Demak dikuasai Arya Penangsang yang terkenal kejam dan tidak disukai orang, sehingga timbul kekacauan dimana-mana. Apalagi ketika adipati Japara yang mempunyai pengaruh besar dibunuh pula, yang mengakibatkan si adik dari adipati japara berjuluk Ratu Kalinyamat bersama adipati-adipati lainnya menentang Arya Panangsang, yang salah satu dari adipati itu bernama Hadiwijoyo berjuluk Jaka Tingkir, yaitu putra dari Kebokenongo sekaligus menantu Trenggono. Jaka Tingkir, yang berkuasa di Pajang Boyolali, dalam peperangan berhasil membunuh Arya Penangsang. Dan oleh karena itu ia memindahkan Karaton Demak ke Pajang dan ia menjadi raja pertama di Pajang. Dengan demikian, habislah riwayat kerajaan Islam Demak

SIRNA HILANG KERTANING BUMI
Mungkin belum banyak yang mengetahui bahwa bangsa Jawa dahulu kala memiliki tradisi kalender yang biasa disebut perhitungan kalender candra sengkala. Perhitungan itu berupa kata symbol yang bernilai angka tetap. Kalender inilah yang banyak berjasa menjelaskan berbagai peristiwa sejarah nusantara.
Kali ini saya ingin mengungkapkan sebuah perhitungan Candra Sengkala yang menjelaskan kejatuhan kerajaan Majapahit, yaitu sengkala yang berbunyi, Sirna Hilang Kertaning Bumi. Sirna bermakna nol atau kosong, Hilang berarti nol, Kertaning berarti empat, Bumi bermakna satu. Maka dapat kita lihat ada angka 0041. Untuk membacanya kita harus membacanya dengan terbalik: 1400.Bila kita ingin mengetahui artinya dalam tahun masehi, maka kita harus menambahnya dengan angka 78. Sehingga kita mendapatkan angka 1478. Tahun 1478 merupakan puncak dari kejatuhan imperium Majapahit.
Sengkala berasal dari kata “saka kala” (tahun saka) yang diberi imbuhan - an kemudian menjadi sengkalan. Sengkalan didefinisikan sebagai angka tahun yang dilambangkan dengan kalimat, gambar, atau ornamen tertentu. Bangsa barat menyebutnya sebagai kronogram. Penyebutan angka tahun mengunakan kalimat dimaksudkannya agar para generasi penerus mudah mengingat peristiwa yang telah terjadi pada tahun yang dimaksud. Jadi, sengkalan punya dua maksud : angka tahun, dan peristiwa apa yang terjadi tahun itu. suatu cara yang sangat cerdas warisan leluhur.
Karena tahun Caka/Syaka/Saka menggunakan garis edar Matahari sebagai refererensi, maka suka disebut surya sengkala. Kalau tahun Jawa atau tahun Hijriyah, maka suka disebut candrasengkala karena menggunakan garis edar Bulan sebagai referensi (candra = Bulan). Para leluhur sudah menyusun aturan sedemikian rupa untuk menjadi pedoman bagaimana membuat suryasengkala. Karena sengkalan menggunakan kalimat sebagai angka, maka kata-kata tertentu punya “watak bilangan” atau “watak kata-kata” masing masing. Berikut adalah aturannya (diterjemahkan dari bahasa Kawi atau Jawa).
· Angka 1 : benda yang jumlahnya hanya satu, benda yang berbentuk bulat, manusia.
· Angka 2 : benda yang jumlahnya ada dua, misalnya tangan, mata, telinga.
· Angka 3 : api atau benda berapi.
· Angka 4 : air dan kata-kata yang artinya “membuat”.
· Angka 5 : angin, raksasa, panah.
· Angka 6 : rasa, serangga, kata-kata yang artinya “bergerak”.
· Angka 7 : pendeta, gunung, kuda).
· Angka 8 : gajah, binatang melata, brahmana.
· Angka 9 : dewa, benda yang berlubang.
· Angka 0 : hilang, tinggi, langit, kata-kata yang artinya “tidak ada”.
Aturan lainnya adalah bahwa sengkalan punya sandi, yaitu kata terakhir di kalimat sengkalan menjadi angka urutan pertama, sedangkan kata pertama di kalimat sengkalan menjadi angka urutan terakhir pada tahun sengkalan.
Mari kita analisis “Sirna Ilang Kertaning Bumi”. Bila dilihat watak kata-kata dan watak bilangannya, maka “sirna” = hilang = angka 0, “ilang = hilang” angka 0, “kertaning/kerta ning” = dibuat = pekerjaan membuat = angka 4, “bumi/bhumi” = bumi = angka 1. Analisis sengkalan ini harus didampingi buku buku kamus Jawa Kuno (Kawi) susunan Poerwadarminta, Wojowasito, atau Purwadi. Suryasengkala “Sirna Ilang Kertaning Bumi” = 0041, ingat aturan sandi sengkalan, maka tahun yang dimaksud dengan “Sirna Ilang Kertaning Bumi” adalah 1400 Caka atau 1478 M. Sengkalan “Sirna Ilang Kertaning Bumi” dimaksudkan pengarang Babad tanah Jawi untuk menggambarkan runtuhnya/hilangnya Kerajaan Majapahit pada tahun 1400 Caka atau 1478 M.
Ada yang menarik di sini : “Kertaning Bumi” Kerta/Karta = dibuat/dijadikan. Misalnya : Jayakarta = dibuat jaya/berhasil, Yogyakarta = dibuat baik (seyogyanya = sebaiknya). Maka, “kertaning Bumi” terbuka untuk ditafsirkan “dibuat (oleh) Bumi” atau “dibuat (di) Bumi”. Kata “ning” dalam bahasa Kawi bisa banyak punya arti sebagai kata depan atau kata pembuat kata kerja.
Apakah “Sirna Ilang Kertaning Bumi” bisa ditafsirkan “Hilang Musnah Dibuat Bumi” ? kita bisa menduganya : bencana dari Bumi. Kaitkan ke Babad Pararaton, bencana itu adalah Pagunung Anyar alias erupsi gununglumpur. Kronik sejarah macam Babad Tanah Jawi, Babad Pararaton, Kunci sandi Sengkalan, dan geologi Delta Brantas kini dan dulu cukup kuat menunjuk bahwa bencana alam adalah faktor penting yang harus ditelusuri dalam Sandhyakala ning Majapahit - Senja Kala di Majapahit.
Majapahit runtuh disebabkan banyak faktor salah satunya adalah situasi politik di tanah Jawa pada saat itu dan sirnanya semangat maritime di kalangan para pembesar (para adipati) yang berada dibawah naungan Majapahit. Arus yang datang dari luar selalu membawa perubahan sekaligus kepentingan yang termasuk di dalamnya adalah kepentingan niaga. Secara makna kalimat, Sirna Hilang Kertaning Bumi berarti sirna dan hilangnya kejayaan bumi. Ungkapan kalender tradisional ini, selain menjelaskan 1400 saka, juga memiliki keterangan sejarah. Ada keserasian antara makna waktu dengan histories kejatuhan Majapahit. Disinilah bedanya tradisi kalender Candra Sengkala dengan tradisi kalender lain. Memang setiap tradisi penanggalan berbeda dan masing-masing memiliki keunggulan dan kelemahan. Hanya Candra Sengkala, saya lihat cukup menarik dan tidak patut kita lupakan begitu saja. Meskipun jaman sekarang sudah tidak digunakan lagi, tetapi minimal ada sebuah kesadaran dalam diri masyarakat nusantara bahwa Candra Sengkala merupakan refleksi dari tingginya peradaban masyarakat Jawa ratusan tahun silam. Tidak ada alasan untuk meremehkan masyarakat tradisional. Para leluhur kita jugalah yang merintis tata cara hidup yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, semisal gotong royong.
Terbukti benar, sejak tahun Sirna Hilang Kertaning Bumi (1400 saka), kejayaan bangsa kita mulai luntur. Bangsa asing mulai mendominasi dan menguasai segala aspek. Sumberdaya alam kita dikuras dengan sedemikian rupa hingga menjadikan bangsa nusantara menjadi terjajah. Saat ini pun bangsa kita belum menjadi bangsa yang jaya sebagaimana kejayaan Majapahit. Kejayaan benar-benar sirna di bumi nusantara. Untuk kembali merebut kejayaan yang sirna itu, kita perlu kerja keras dan berusaha semaksimal mungkin bangkit dari kemunduran ini. Kita berdayakan potensi yang ada, memanfaatkan peluang pembangunan yang mengarah pada kemajuan dan meningkatkan aspek penguat sumberdaya manusia. Saya memandang, Indonesia baru bangkit berjaya jikalau muncul kembali trah Majapahit
Untuk memastikan hal ini memang tidak gampang. Maka dari itu, semangatnya yang kita ambil. Majapahit tidak hanya kuat dalam hal sarana prasarana. Selain armada perangnya tangguh, Majapahit juga memiliki sarana dagang dan system pemerintahan yang kuat menopang kelangsungan pembangunan. Kalau di kemudian hari bangsa kita telah menjadi kuat, maka senantiasa waspada terhadap terulangnya sirna hilang kertaning bumi. Sebaliknya, kita mesti pertahankan gemah ripah loh jinawi; tata tentrem kerta raharja
ketika kerajaan Majapahit berdiri sebagai bagian dari perjalanan bangsa Indonesia. Sejak didirikan Raden Wijaya yang bergelar Sri Rajasa Jayawardhana, kerajaan ini senantiasa diliputi fenomena pemberontakan Pewaris tahta Raden Wijaya, yakni masa pemerintahan Kalagemet/Jayanegara (1309-1328), yang dalam sebuah prasasti dianggap sebagai titisan Wisnu dengan Lencana negara Minadwaya (dua ekor ikan) dalam memerintah banyak menghadapi pemberontakan-pemberontakan terhadap Majapahit dari mereka yang masih setia kepada Kertarajasa.

Bahkan salah satu penyebab kemunduran dan hancurnya kerajaan Majapahit adalah ketika meletusnya Perang Paragreg tahun 1401-1406 merupakan perang saudara memperebutkan kekuasaan, daerah bawahan mulai melepaskan diri dan berkembangnya Islam di daerah pesisirKerajaan Majapahit yang pernah mengalami masa keemasan dan kejayaan harus runtuh terpecah-pecah setelah kehilangan tokoh besar seperti Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah. Tampaknya terjadi perang saudara (Perang Paregreg) pada tahun 1405-1406, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Demikian pula telah terjadi pergantian raja yang dipertengkarkan pada tahun 1450-an, dan pemberontakan besar yang dilancarkan oleh seorang bangsawan pada tahun 1468.

Berita-berita Cina, Italia, dan Portugis masih menyebutkan nama Majapahit di tahun 1499 tanpa menyebutkan nama rajanya. Semakin meluasnya pengaruh kerajaan kecil Demak di pesisir utara Jawa yang menganut agama Islam, merupakan salah satu penyebab runtuhnya kerajaan Majapahit.
Tahun 1522 Majapahit tidak lagi disebut sebagai sebuah kerajaan melainkan hanya sebuah kota. Pemerintahan di Pulau Jawa telah beralih ke Demak di bawah kekuasaan Adipati Unus, anak Raden Patah, pendiri kerajaan Demak yang masih keturunan Bhre Kertabhumi. Ia menghancurkan Majapahit karena ingin membalas sakit hati neneknya yang pernah dikalahkan raja Girindrawardhana Dyah Ranawijaya.

Demikianlah maka pada tahun 1478 hancurlah Majapahit sebagai sebuah kerajaan penguasa nusantara dan berubah satusnya sebagai daerah taklukan raja Demak. Berakhir pula rangkaian penguasaan raja-raja Hindu di Jawa Timur yang dimulai oleh Keng Angrok saat mendirikan kerajaan Singha-sari, digantikan oleh sebuah bentuk kerajaan baru bercorak agama Islam. Ironisnya, pertikaian keluarga dan dendam yang berkelanjutan menyebabkan ambruknya kerajaan ini, bukan disebabkan oleh serbuan dari bangsa lain yang menduduki Pulau Jawa.
Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Namun demikian, yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana.
Akan tetapi, masih ada juga kerajaan-kerajaan yang meneruskan corak kehinduan Majapahit misalnya, yaitu Pajajaran yang akhirnya lenyap setelah ditundukkan oleh Sultan Yusuf dari Banten di tahun 1579, juga Balambangan yang di tahun 1639 baru bisa ditundukkan oleh Sultan Agung dari Mataram, disamping masyarakat di pegunungan tengger yang sampai saat ini masih mempertahankan corak Hindunya dengan memuja Brahma, dan Bali yang masih tetap dapat mempertahankan kebudayaan lamanya.

SEJARAH BERDIRINYA MAJAPAHIT


Sejarah berdirinya Majapahit berawal dari runtuhnya Kerajaan singhasari akibat pemberontakan yang dilancarkan oleh Jayakatwang yang merupakan keturunan dari Raja Kertajaya yang merupakan penguasa terakhir kerajaan Kediri dan tahtanya direbut oleh Ken Arok pendiri Kerajaan Singhasari.

Surya Majapahit (Lambang Kerajaan Majapahit)

Dengan adanya pemberontakan tersebut Prabu Kertanagara segera mengambil tindakan dengan memerintahkan Raden Wijaya untuk menghalau serangan tentara Kadiri di desa Memeling. Raden Wijaya di desa Mameling berhasil menumpas musuh. Setelah berhasil menumpas musuh tentara Singosari kembali menuju ibukota, betapa terkejutnya mereka ketika sampai di perbatasan sorak sorai tentara musuh yang telah berhasil merusak keraton Singhasari. Raja Śri Kĕrtānegara gugur, kerajaan Singhasāri berada di bawah kekuasaan raja Jayakatwang dari Kadiri. Raden Wijaya berusaha menyelamatkan apa yang masih mungkin bisa diselamatkan, mereka dengan gagah berani menyerbu kedalam istana, namun karena jumlah tentara kediri yang begitu banyak maka usaha tersebut tidak berhasil.

 Buah Maja
  
Raden Wijaya kemudian dikepung oleh patih Daha Kebo Mundarang sehingga akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri. Raden wijaya dengan pengikutnya Lembu Sora, Gajah Pagon, Medang Dangli, Malusa Wagal, Nambi, Banyak Kapuk, Kebo Kepetengan, Wirota Wiragati dan Pamandana lari melintasi sawah yang baru habis dibajak. Ketika hampir tertangkap oleh Patih Mundarang, Raden Wijaya memancal tanah bajakan sehingga jatuh didada dan dahi ki Patih ,Raden Wijaya pun berhasil lolos dari kejaran musuh.
Setelah beristirahat sejenak Raden Wijaya kemudian membagi-bagikan celana gringsing kepada pengikut-pengikutnya tiap orang sehelai dan diperintahkan untuk mengamuk, Pada waktu menjelang malam ketika tentara Kediri sedang berpesta pora, Raden Wijaya dan para pengikutnya kembali lagi masuk kedalam keraton Singhasari. Putri Kertanegara yang bungsu yaitu Gayatri ditawan oleh musuh dan dibawa ke Kediri sedangkan putri yang sulung yaitu Tribuaneswari berhasil diselamatkan oleh Raden Wijaya. Atas nasehat Lembu Sora, Raden Wijaya bersama Putri dan para pengikutnya kemudian mundur ke luar kota menuju arah utara karena tidak ada gunanya melanjutkan perang yang pasti akan membawa kekalahan karena jumlah tentara Kediri jauh lebih besar. Masih ada kira kira 600 orang pengikut Raden Wijaya.

Arca Pertapa Hindu Jaman Kerajaan Majapahit.
Raden Wijaya bermaksud meneruskan perjalanan menuju ke Terung untuk minta bantuan kepada Akuwu Terung Wuru Agraja yang diangkat sebagai akuwu oleh Mendiang Sri Kertanegara, dengan harapan memperoleh bantuan untuk mengumpulkan orang di sebelah timur dan timur laut Terung. Maka pengikut Wijaya menjadi gembira dan pada malam harinya mereka berangkat ke barat melalui Kulawan yang telah dijadikan benteng oleh musuh, di mana ia menjumpai musuh yang besar jumlahnya. Raden Wijaya dikejar oleh musuh dan lari ke utara menuju Kembangsri (Bangsri), di mana ia berjumpa lagi dengan musuh, hingga ia terpaksa bergegas mencebur ke Bengawan dan menyeberanginya. Di sungai ini banyak prajuritnya yang tewas terkena tumbak musuh. Banyak yang lari mencari hidup sendiri-sendiri sehingga pengikutnya tinggal sedikit. Sesampainya di seberang sungai pengikut Wijaya tinggal duabelas orang. Pada pagi hari rombongan Wijaya diketemukan oleh rakyat Kudadu.
Disana Raden Wijaya diterima dan dijamu ketua desa yang bernama Macan Kuping dengan kelapa muda dan nasi putih. Raden wijaya sangat terharu atas sambutan tersebut . Gajah Pagon yang menderita luka cukup parah di pahanya akhirnya ditinggal di Dusun pandak, disembunyikan di tengah ladang. Raden Wijaya kemudian melanjutkan perjalanan Ke Pulau Madura diantar sampai di daerah Rembang.
peta wilayah kekuasaan Majapahit
Dalam Pararaton dusun Pandak tidak disebut yang disebut ialah datar. Lempengan tembaga yang terdapat di Gunung Butak di daerah Mojokerto yang dikeluarkan oleh Raden Wijaya setelah menjadi Raja Majapahit terkenal dengan Piagam Kudadu sebagai ungkapan terima kasih Raden Wijaya kepada ketua dusun kudadu yang pernah menerimanya dengan ramah sebelum melanjukan perjalanan ke Madura. Berkat pertolongan Kepala Desa Kudadu, rombongan Raden Wijaya dapat menyeberangi laut menuju Madura untuk meminta perlindungan dari Arya Wiraraja, seorang Bupati Singhasari yang ditempatkan di didaerah tersebut.


Raden Wijaya Tiba di Madura
Setibanya di Pulau Madura, Raden Wijaya dan pengikutnya segera menemui Arya Wiraraja. Sikap Arya Wiraraja sebagai Bupati Singhasari tidak berubah meskipun tahu Kerajaan Singhasari telah runtuh. Sambutan yang demikian membuat Raden Wijaya terharu sehingga menjanjikan apabila berhasil mengembalikan kekuasaan yang telah direbut Jayakatwang maka wilayah kerajaan setengahnya akan diberikan kepada Arya Wiraraja.

Arya Wiraraja sangat senang mendengar janji Raden Wijaya dan akan berupaya mengerahkan segala kekuatan yang dimilikinya untuk mewujudkan keinginan Raden Wijaya tersebut. Arya Wiraraja juga memberi nasehat agar Raden Wijaya pura pura menyerah dan mengabdi kepada Prabu Jayakatwang di Kediri dan selama tinggal di istana, Raden Wijaya diminta menyelidiki sampai dimana kekuatan tentara Kadiri. Setelah itu Raden Wijaya diminta mengajukan permohonan kepada Prabu Jayakatwang untuk membuka hutan dan tanah tandus di daerah Tarik dan Arya Wiraraja akan mengirimkan orang-orang Madura untuk membantunya.

Demikianlah Arya Wiraraja kemudian mengirimkan utusan ke Kadiri untuk menyampaikan bahwa Raden Wijaya menyerah dan bermaksud untuk mengabdi kepada Prabu Jayakatwang. Permohonan tersebut disetujui oleh Prabu Jayakatwang. Raden Wijaya kemudian berangkat ke Kadiri dengan diantar oleh Arya Wiraraja sampai di daerah Terung dan Raden Wijaya kemudian dijemput oleh patih kadiri yaitu Sagara Winotan dan Yangkung Angilo di daerah Jung Biru. Adapun Tribhuwaneswari yang turut serta dalam perjalanan Raden Wijaya ke Madura dititipkan ke pada Arya Wiraraja. Kedatangan Raden Wijaya dan para pengikutnya di Kadiri bertepatan dengan perayaan hari raya Galungan.

Setelah cukup lama mengabdi di Kadiri Raden Wijaya kemudian mengusulkan untuk membuka daerah tarik (daerah Sidoarjo) menjadi hutan perburuan bagi Prabu Jayakatwang yang suka berburu. Usul tersebut segera disetujui tanpa curiga. Daerah Tarik terletak di tepi sungai Brantas dekat pelabuhan Canggu yang sekarang terletak di sebelah Timur Mojokerto. Raden Wijaya Segera mengirim Wirondaya ke Sumenep Madura untuk melaporkan persetujuan tersebut kepada Bupati Madura Arya Wiraraja. Arya Wiraraja kemudian mengerahkan orang Madura untuk membuka Hutan tarik.

Dalam waktu singkat hutan tarik berhasil dibuka dan orang Madura yang membantu pembukaan hutan tersebut kemudian menetap di daerah tersebut. Daerah tersebut kemudian dinamakan Majapahit atau Wilwatikta. Setelah Hutan Tarik berhasil dibuka, Raden Wijaya minta izin kepada Prabu Jayakatwang untuk menengok daerah tersebut. Prabu Jayakatwang mengizinkan asal tidak lama tinggal didaerah tersebut. Demikianlah akhirnya Raden wijaya berangkat bersama pengiringnya pada hari mertamasa. Pada hari ke tujuh Raden Wijaya akhirnya sampai di daerah Tarik dan tinggal di Pesanggrahan yang terbuat dari bambu yang dikelilingi kolam. Panji Wijayakrama memberikan uraian yang sangat jelas tentang keberadaan daerah Majapahit sebagai berikut :
Kota yang dibangun menghadap ke sungai yang besar yaitu sungai brantas yang mengalir dari Kediri sampai ke laut.
Sungai kecil yang mengalir dari selatan yaitu kali mas yang pada jaman tersebut disebut kali Kancana.
Perahu dagang hilir mudik silih berganti dikemudikan oleh orang Madura.
Orang Madura mengalir tak putus putusnya ke Majapahit, mereka menetap di Majapahit bagian utara yang dinamakan Wirasabha.
Disebelah tenggara kota adalah jembatan.
Daerah yang dibuka sebagian besar berupa sawah dan perkebunan yang ditanami bunga, pucang, pinang , kelapa dan pisang
Telah tersedia tahta dari batu putih tempat duduk Raden Wijaya yang dinakaman Wijil Pindo yang artinya pintu kedua

Buah Maja Konon, buah maja ditemukan pada saat Raden Wijaya diijinkan membuka hutan Tarik. Raden Wijaya pandai mengambil hati rakyat Majapahit yang baru saja menetap di daerah Tarik, orang orang dari Daha dan Tumapel kemudian banyak yang menetap di daerah Majapahit. Di desa ini Raden Wijaya kemudian memimpin dan menghimpun kekuatan, khususnya rakyat yang loyal terhadap mendiang Prabu Kertanegara yang berasal dari daerah Daha dan Tumapel. Arya Wiraraja sendiri menyiapkan pasukannya di Madura untuk membantu Raden Wijaya bila saatnya diperlukan. Rupanya ia pun kurang menyukai Raja Jayakatwang.

Banyak Kapuk dan Mahisa Pawagal yang diutus oleh Raden Wijaya ke Sumenep Madura telah sampai. Semua pesan Raden Wijaya segera disampaikan kepada Arya Wiraraja. Ketika mereka akan kembali, putra Arya Wiraraja yaitu Ranggalawe yang bertempat di dusun Tanjung di sebelah Barat Madura dikirim ke Majapahit membawa pesan ayahnya bahwa Arya Wiraraja belum bisa datang ke Majapahit dan Arya Wiraraja akan secepatnya mengirim utusan ke Tiongkok untuk minta bantuan tentara Tartar.

Banyak Kapuk dan Mahisa Pawagal akhirnya pulang ke majapahit mengiringi Putri Tribhuwaneswari bersama Putra Arya Wiraraja yaitu Ranggalawe. Nama Ranggalawe adalah pemberian Raden Wijaya kepada putra Arya Wiraraja tersebut karena ketegasan tindak tanduknya pada saat pertama kali bertemu Raden Wijaya. Lawe artinya benang / wenang karena dia diberikan wewenang untuk memerintah seluruh rakyat Madura dan diberi pangkat Rangga.

Keesokan harinya Raden Wijaya bersama Ranggalawe, Ken Sora dan para Wreddha Menteri lainnya menyusun siasat untuk menyerang kerajaan kediri. Namun sebelum penyerangan dilaksanakan Ranggalawe minta ijin pulang ke Madura untuk mengambil kuda ayahnya yang berasal dari daerah Bima dan kuda kuda lainnya untuk tunggangan para panglima pasukan. Usul tersebut disetujui akhirnya Ranggalawe pulang ke Madura.

Raden Wijaya telah lama meninggalkan kediri, akhirnya pada bulan Waisaka datang utusan dari Prabu Jayakatwang yang bernama Sagara Winotan yang meminta kepada Raden Wijaya untuk balik ke Kediri karena Prabu Jayakatwang akan melaksanakan perburuan di daerah baru tersebut. Pada saat Sagara Winotan ada di Majapahit datanglah Ranggalawe dengan kuda kuda perangnya dari Madura. Kuda kuda tersebut kemudian diturunkan dari atas Kapal. Segara Wionotan terheran heran melihatnya. Untuk menghindari kecurigaan dari utusan kediri tersebut, Raden wijaya kemudian menjelaskan bahwa kuda kuda tersebut akan dipergunakan untuk persiapan berburu Prabu Jayakatwang. Segara Winotan percaya akan maksud baik Raden Wijaya dan ingin segera melihat sepak terjang orang orang Madura dalam melaksanakan perburuan.

Namun perkataan Segara Winotan tanpa disadari telah menyinggung hati Ranggalawe sehingga menyahut

“ apa bedanya tindak landuk petani Madura dengan orang Daha, segera engkau akan mengetahui kemampuan orang Madura “.


Raden Wijaya terkejut mendengar teriakan lantang Ranggalawe. Kalau hal tersebut dibiarkan maka akan terjadi perselisihan diantara kedua orang tersebut dan apa yang telah dirahasiakan selama ini akan terbongkar. Untuk menenangkan suasana Ken Sora kemudian mengajak Ranggalawe untuk mengawasi penurunan kuda kuda dari kapal. Segara Winotan yang terkejut dengan teriakan Ranggalawe segera menanyakan siapakah gerangan orang tersebut. Raden Wijaya menjelaskan bahwa orang tersebut adalah Kemenakan Ken Sora dari Tanjung sebelah barat Madura.

Ucapannya kasar karena dia adalah petani bentil, karena itu janganlah terlalu diambil hati. Segera Winotan kemudian kembali ke Daha. Kuda yang dibawa oleh Ranggalawe dari Madura berjumah 27 ekor kemudian dibagikan kepada para pemimpin pasukan. Segara Winotan telah kembali ke Kerajaan Kediri kemudian melaporkan ke hadapan Prabu Jayakatwang persiapan berburu yang telah dilakukan oleh Raden Wijaya, tanpa mengetahui keadaan yang sebenarnya. Maklumlah selama di daerah Tarik Segara Winotan hanya diterima di daerah Warasaba dan tidak diberi kesempatan untuk melihat keadaan kota. Raden Wijaya sangat pintar untuk menerima tamunya sedemikian rupa sehingga Segara Winotan tidak mengetahui persiapan perang yang sedang direncanakan oleh Raden Wijaya.

Arya Wiraraja telah bersiap siap untuk berangkat ke Majapahit diiringi Bala tentaranya dari Madura. Kedatangannya dengan perahu sampai di Canggu disambut oleh Raden Wijaya dan ditempatkan di Pesanggarahan yang telah dipersiapkan untuknya. Arya Wiraraja minta maaf kepada Raden Wijaya karena telah mengambil keputusan tanpa persetujuan dari Raden Wijaya yang menjanjikan 2 orang putri dari Tumapel akan diserahkan kepada Kaisar Tartar bila mampu menundukkan kerajaan Kediri dibawah pimpinan Prabu Jayakatwang. Kaisar Tartar berjanji bahwa pasukan Tartar akan datang pada bulan Waisaka.

Dalam menyusun siasat untuk menyerang Kerajaan Kediri, Ranggalawe mengusulkan agar pasukan Majapahit dipecah menjadi 2 yaitu
· Arya Wiraraja memimpin pasukan yang bergerak melalui jalan raja, lewat Linggasana.
· Raden Wijaya memimpin pasukan yang melalui Singhasari.
Ranggalawe akan ikut dalam pasukan pimpinan Raden Wijaya, kedua pasukan akan bertemu di daerah Barebeg.

Dalam Kidung Harsa Wijaya Pupuh IV diuraikan tentang peperangan Majapahit dengan Kerajaan Kediri. Ranggalawe berpendapat tidaklah mungkin terjadinya perang tanpa ada penyebabnya, karena hal tersebut akan menimbulkan tuduhan bahwa Raden Wijaya tidak tahu berterima kasih akan kebaikan Prabu Jayakatwang yang telah menerima Raden Wijaya dan pengikutnya dengan baik selama mengabdi di kerajaan Kediri. Oleh karena itu Ranggalawe mengusulkan agar Raden Wijaya mengirimkan utusan ke Prabu Jayakatwang untuk meminta putri Puspawati dan Gayatri yaitu putri Prabu Kertanagara yang ditawan oleh Kerajaan Kadiri. Jika permintaan tersebut tidak dikabulkan maka alasan tersebutlah yang akan dipakai dasar untuk menyerang Kerajaan Kediri.

Ken Sora, Gajah Pagon dan Lembu Peteng lebih cendrung untuk memberontak begitu saja, karena bukan tidak mungkin prabu Jayakatwang akan meluluskan permintaan Raden Wijaya tersebut. Nambi mengusulkan agar tentara Majapahit berusaha memikat Menteri Menteri kerajaan Daha sehingga ikut membantu pemberontakan terhadap pemerintahan prabu Jayakatwang. Usul tersebut ditolak oleh Podang yang mendapat dukungan dari Panji Amarajaya, Jaran Waha, Kebo Bungalan dan Ranggalawe. Karena pandapat yang berbeda beda tersebut akhirnya mereka semua minta pendapat dari Arya Wiraraja, karena telah terbukti Arya Wiraraja pandai memberi nasehat kepada Raden Wijaya. Arya Wiraraja memberi nasehat agar Raden Wijaya bersabar menunggu kedatangan Pasukan dari Tartar sebulan lagi.

Akhirnya pada tanggal 1 Maret 1293, 20.000 pasukan Mongol mendarat di Jawa. disebelah barat Canggu dan langsung membuat benteng pertahanan di lembah Janggala. Disebutkan bahwa utusan yang dikirim ke Jawa terdiri dari tiga orang pejabat tinggi kerajaan, yaitu Shih Pi, Ike Mese, dan Kau Hsing. Hanya Kau Hsing yang berdarah Cina, sedangkan dua lainnya adalah orang Mongol. Mereka diberangkatkan dari Fukien membawa 20.000 pasukan dan seribu kapal. Kublai Khan membekali pasukan ini untuk pelayaran selama satu tahun serta biaya sebesar 40.000 batangan perak. Shih Pi dan Ike Mese mengumpulkan pasukan dari tiga provinsi: Fukien, Kiangsi, dan Hukuang. Sedangkan Kau Hsing bertanggung jawab untuk menyiapkan perbekalan dan kapal. Pasukan besar ini berangkat dari pelabuhan Chuan-chou dan tiba di Pulau Belitung sekitar bulan Januari tahun 1293. Di sini mereka mempersiapkan penyerangan ke Jawa selama lebih kurang satu bulan.

Kekuatan Satuan Tugas Expedisi Tartar.

Untuk mendapatkan gambaran betapa besar kekuatan Satuan Tugas Expedisi Tartar ke Jawa kami mencoba membuat analisa data yang disebut dalam buku W.P.Groeneveldt. Analisa ini juga untuk mendapatkan gambaran susunan dari Satuan Tugas ini. Armada tugas berkekuatan 1000 kapal dengan perbekalan cukup untuk satu tahun. Gubernur Fukien diperintahkan oleh Kubilai Khan untuk menghimpun pasukan berkekuatan 20.000 dari propinsi-propinsi Fukien, Kiang-si dan Hukuang. Tiga propinsi ini berada di Cina Selatan. Fukien berbatasan dengan laut selat Taiwan. Pasukan ini dikumpulkan di pelabuhan propinsi Fukien bernama Chuan-chau dari mana armada diberangkatkan. Jadi pasukan yang dikumpulkan dari tiga propinsi adalah terdiri dari orang Cina. Sebagai pemimpin umum ditunjuk Shih-pi dan Ike Mese dan Kau Hsing sebagai pembantu-pembantunya.

Dari namanya dapat diperkirakan, Shih-pi dan Ike Mese adalah berasal dari Mongolia (Tartar asli) sedang Kau Hsing adalah Cina. Pasukan Tartar yang menyerbu ke Eropa terkenal karena pasukan kudanya. Jadi dapat diperkirakan pasukan kavaleri yang ikut ke Jawa ini terdiri atas orang-orang Tartar. Selain dari tiga propinsi di atas disebut pula adanya beberapa kesatuan yang dikumpulkan di Ching-yuan (sekarang Ning-po) di sebelah selatan Syang-hai. Shih-pi dan Ike Mese lewat daratan dengan pasukan itu berjalan dari sini menuju Chuan-chou, sedang Kau Hsing mengangkut perbekalan dengan kapal. Jadi diperkirakan pasukan yang berkumpul di Ning-po ini adalah kesatuan-kesatuan berkuda (kavaleri) yang disebut dalam laporan Shih-pi berkekuatan 5000 orang, kiranya terdiri dari orang-orang Tartar.

Maka dapat diperkirakan, expedisi yang berkekuatan 20.000 orang ini terbagi dalam infanteri 15.000 orang. Dalam kronik Cina itu tidak disebut berapa besar jumlah awak kapal yang 1000 buah itu. Kalau tiap kapal berawak kapal 10 orang maka seluruhnya akan berjumlah 10.000 orang pelaut. Jadi seluruh expedisi ini berkekuatan 1000 kapal, kira-kira 30.000 prajurit dan 5000 kuda.

Sesampainya di Tuban expedisi tersebut, seperdua dari kekuatan tempur didaratkan di sini dan menuju Pacekan lewat darat. Bagian yang lewat darat ini dipimpin oleh Kau Hsing terdiri atas kavaleri dan infanteri sedang seorang “Commander of Ten Thousand” (Pangleksa) meminpin pasukan pelopor. Shih-pi dengan seperdua bagian lainnya menuju Ujunggaluh lewat laut membawa perbekalan armada dipimpin oleh Ike Mese. Kiranya bagian yang dengan kapal ini adalah kesatuan-kesatuan bantuan dan senjata bantuan, kesatuan perbekalan dan kesatuan senjata berat, pelempar peluru (batu?).

Mengingat keadaan medan di Jawa diperkirakan banyak terdiri dari rawa-rawa maka senjata berat ini akan selalu disiapkan di kapal saja. Bagian terbesar dari expedisi ini adalah kesatuan infanteri. Maka dapat diperkirakan seluruh kekuatan expedisi terbagi atas kesatuan kavaleri 5000 orang, kesatuan infanteri kira-kira 10.000 orang dan kesatuan bantuan kira-kira 5000 orang yang dapat dipakai sebagai bantuan cadangan.

Perjalanan menuju Pulau Belitung yang memakan waktu beberapa minggu melemahkan bala tentara Mongol karena harus melewati laut dengan ombak yang cukup besar. Banyak prajurit yang sakit karena tidak terbiasa melakukan pelayaran. Di Belitung mereka menebang pohon dan membuat perahu (boats) berukuran lebih kecil untuk masuk ke sungai-sungai di Jawa yang sempit sambil memperbaiki kapal-kapal mereka yang telah berlayar mengarungi laut cukup jauh.

Penyerangan Kerajaan Kadiri

Pada bulan kedua tahun itu Ike Mese bersama pejabat yang menangani wilayah Jawa dan 500 orang menggunakan 10 kapal berangkat menuju ke Jawa untuk membuka jalan bagi bala tentara Mongol yang dipimpin oleh Shih Pi. Ketika berada di Tuban mereka mendengar bahwa raja Kartanagara telah tewas dibunuh oleh Jayakatwang yang kemudian mengangkat dirinya sebagai raja Singhasari.

Oleh karena perintah Kublai Khan adalah menundukkan Jawa dan memaksa rajaSinghasari, siapa pun orangnya, untuk mengakui kekuasaan bangsa Mongol, maka rencana menjatuhkan Jawa tetap dilaksanakan. Sebelum menyusul ke Tuban orang-orang Mongol kembali berhenti di Pulau Karimunjawa untuk bersiap-siap memasuki wilayah Singhasari. Setelah berkumpul kembali di Tuban dengan bala tentara Mongol. Ike Mese mengetahui kalau Kertanegara memiliki ahli waris bernama Raden Wijaya. Ia pun mengirim utusan menemui Raden Wijaya yang berkampung di Majapahit. Raden Wijaya bersedia menyerah dan tunduk kepada Mongol asalkan terlebih dahulu dibantu mengalahkan Jayakatwang raja Kadiri. Ike Mese kemudian diundang ke desa Majapahit.

Diputuskan bahwa Ike Mese akan membawa setengah dari pasukan kira-kira sebanyak 10.000 orang berjalan kaki menuju Singhasari, selebihnya tetap di kapal dan melakukan perjalanan menggunakan sungai sebagai jalan masuk ke tempat yang sama. Sebagai seorang pelaut yang berpengalaman, Ike Mese, yang sebenarnya adalah suku Uigur dari pedalaman Cina bukannya bangsa Mongol, mendahului untuk membina kerja sama dengan penguasa-penguasa lokal yang tidak setia kepada Jayakatwang.

Kisah serangan Mongol terhadap Jawa tersebut tercantum dalam Catatan Sejarah Dinasti Yuan yang telah diterjemahkan oleh W.P. Groeneveldt, dalam bukunya, Notes on The Malay Archipelago and Malacca, Compiled from Chinese Sources (1880). Menurut cerita Pararaton Permohonan Arya Wiraraja kepada Kaisar Tiongkok untuk memperoleh bantuan dalam usahanya menyerang kerajaan Kediri dengan janji dua orang putri dari Tumapel dan seorang Putri dari Kerajaan Kediri yaitu Ratna Kesari pada hakikatnya adalah bumbu romantis dari pengiriman tentara tersebut. Tanpa permohonan bantuan dan janji tersebut tentara Tartar pasti datang ke Jawa untuk menuntut balas atas penghinaan utusannya yang bernama Meng ki oleh Prabu Kertanegara. Di muka telah diuraikan bagaimana watak Kaisar Kubilai Khan yang sangat ambisius untuk memperluas daerah kekuasaannya, namun hal tersebut berbenturan dengan Prabu kertanagara yang sadar akan keagungannya sebagai raja yang berdaulat sehingga tidak mau tunduk begitu saja akan keinginan kaisar Kubilai Khan.

Armada kapal kerajaan Mongol selebihnya dipimpin langsung oleh Shih Pi memasuki Jawa dari arah sungai Sedayu dan Kali Mas. Setelah mendarat di Jawa, ia menugaskan Ike Mese dan Kau Hsing untuk memimpin pasukan darat. Beberapa panglima “pasukan 10.000-an” turut mendampingi mereka. Sebelumnya, tiga orang pejabat tinggi diberangkatkan menggunakan ‘kapal cepat’ menuju ke Majapahit

Untuk mempermudah gerakan bala tentara asing ini, Raden Wijaya memberi kebebasan untuk menggunakan pelabuhan-pelabuhan yang ada di bawah kekuasaannya dan bahkan memberikan panduan untuk mencapai Daha, ibukota Singhasari. Ia juga memberikan peta wilayah Singhsari kepada Shih Pi yang sangat bermanfaat dalam menyusun strategi perang menghancurkan Jayakatwang. Selain Majapahit, beberapa kerajaan kecil turut bergabung dengan orang-orang Mongol sehingga menambah besar kekuatan militer sudah sangat kuat ketika berangkat dari Cina. Persengkongkolan ini terwujud sebagai ungkapan rasa tidak suka mereka terhadap raja Jayakatwang yang telah membunuh Kartanegara melalui sebuah kudeta yang keji.

Berita pendaratan pasukan dari Tartar telah tersiar sampai di kerajaan Kediri, berita pendaratan tersebut ditambah dengan pemberontakan rakyat Majapahit dan penduduk di sebelah timur Tegal bobot sari dipimpin oleh Arya Wiraraja. Berita tersebut menimbulkan keributan antara rakyat dan tentara Kediri, Segara Winotan dituduh berkhianat kepada raja karena memberikan laporan yang tidak sebenarnya, segala kesalahan ditumpahkan kepadanya. Puncak keributan tersebut berupa penghunusan keris oleh Kebo Rubuh yang siap ditikamkan kepada Segara Wonotan tetapi dengan cepat berhasil dicegah oleh Prabu Jayakatwang.

Pada saat itu datang akuwu di Tuban yang memberikan laporan bahwa tentara Tartar telah mendarat di daerah tersebut. Mereka merusak Kota Tuban, rakyat banyak yang lari mengungsi. Prabu Jayakatwang menyadari bahwa negara benar benar dalam keadaan terancam. Pasukan harus segera dipersiapkan untuk menghadapi musuh yang akan datang. Untuk membendung tentara Tartar dan majapahit akhirnya diputuskan tentara Kediri akan dibagi dalam 3 pertahanan yaitu :

· Mahisa Antaka dan Bowong memimpin pertahanan di bagian Utara , Prabu Jayakatwang ikut dalam pertahanan ini.
· Sagara Winotan dan Senapati Rangga Janur memimpin pertahanan di bagian Timur.
· Kebo Mudarang dan senapati Pangelet memimpin pertahaan bagian selatan
Prabu Jayakatwang sangat marah kepada Raden Wijaya sehingga memutuskan menyerang musuh yang sedang bergerak.

Tentara Kadiri menyerang Majapahit dari tiga jurusan yaitu fron utara dipimpin oleh para adipati dan anjuru, fron selatan dipimpin oleh Menteri Araraman dan fron timur dipimpin oleh prajurit yang langsung berhadapan dengan pasukan dari Majapahit. Namun semuanya dapat dipukul mundur oleh pasukan Majapahit dan Mongol. Pada bulan ketiga tahun 1293, setelah seluruh pasukan berkumpul di mulut sungaiKali Mas, penyerbuan ke kerajaan Kediri mulai dilancarkan. Kekuatan kerajaanKediri di sungai tersebut dapat dilumpuhkan, lebih dari 100 kapalberdekorasi kepala raksasa dapat disita karena seluruh prajurit dan pejabat yangmempertahankannya melarikan diri untuk bergabung dengan pasukan induknya.

Peperangan besar baru terjadi pada hari ke-15, bila dihitung semenjak pasukanMongol mendarat dan membangun kekuatan di muara Kali Mas, di mana bala tentara gabungan Mongol dengan Raden wijaya berhasil mengalahkan pasukan Kadiri. Kekalahan ini menyebabkan sisa pasukan kembali melarikan diri untuk berkumpul di Daha, ibukota Kadiri. Pasukan Ike Mese, Kau Hsing, dan Raden wijaya melakukan pengejaran dan berhasil memasuki Daha beberapa hari kemudian.

Pada hari ke-19 terjadi peperangan yang sangat menentukan bagi kerajaan Kadiri Ike Mese menyerang dari timur, Kau Hsing dari barat, Shih Pi menyusuri sungai, sedangkan pasukan Raden Wijaya sebagai barisan belakang. Perang meletus tanggal 20 Maret 1293 pagi. Kota Daha digempur tiga kali meskipun sudah dijaga 100.000 orang prajurit. Gabungan pasukan Cina dan Raden Wijaya berhasil membinasakan 5.000 tentara Daha.

Dalam Kidung Panji Wijayakrama pupuh VII Segara Winotan berhadapan dengan Ranggalawe di pertahanan bagian Timur. Ranggalawe mengendarai kuda Anda Wesi berhasil melompat kedalam kereta Segara Winotan. Dalam pertempuran diatas kereta tersebut Ranggalawe berhasil memotong leher Segara Winotan sampai tewas. Di bagian selatan Ken Sora berhasil menangkap kebo Mundarang di lurah Trini Panti. Kebo Mundarang yang sudah tidak berdaya berjanji untuk menyerahkan anak perempuannya kepada Ken Sora namun Ken Sora tidak sudi mendengarnya.

Dalam peperangan ini dikatakan bahwa pasukan Mongol menggunakan meriam yang pada zaman itu masih tergolong langka di dunia. Terjadi tiga kali pertempuran besar antara kedua kekuatan yang berseteru ini di keempat arah kota dan dimenangkan oleh pihak para penyerbu. Pasukan Kadiri terpecah dua, sebagian menuju sungai dan tenggelam di sana karena dihadang oleh orang-orang Mongol, sedang sebagian lagi sebanyak lebih kurang 5.000 dalam keadaan panik akhirnya terbunuh setelah bertempur dengan tentara gabungan Mongol-Majapahit. Salah seorang anak Jayakatwang yang melarikan diri ke perbukitan di sekitar ibukota dapat ditangkap dan ditawan oleh pasukan Kau Hsing berkekuatan seribu orang.

Dengan kekuatan yang tinggal setengah, Jayakatwang mundur untuk berlindung di dalam benteng. Sore hari, menyadari bahwa ia tidak mungkin mempertahankan lagi di Daha, Jayakatwang keluar dari benteng dan menyerahkan diri untuk kemudian ditawan di benteng pertahan ujung galuh. Menurut Pararaton dan Kidung Harsawijaya, Jayakatwang meninggal dunia di dalam penjara Ujung Galuh setelah menyelesaikan sebuah karya sastra berjudul Kidung Wukir Polaman.

Setelah Raja Jayakatwang kalah, Raden Wijaya mohon diri kembali ke Majapahit untuk menyiapkan upeti bagi kaisar Khubilai Khan. Kerajaan Kediri telah jatuh, Putri Gayatri kemudian diboyong kembali ke Majapahit. Agaknya timbul perselisihan antara panglima Cina ini dengan panglima-panglima Tartar. Shih-pi dan Ike Mese, karena kedua orang panglima ini telah mengijinkan Wijaya kembali ke Majapahit. Kau Hsing tidak mempercayai Wijaya, maka ia mengejar dan meninggalkan Kediri dengan divisi dan pasukan pelopor yang di bawah pimpinannya.
  
Majapahit Menghalau Tentara Tartar

Sebelum dimulai uraian tentang gerakan-gerakan operasi militer oleh Raden Wijaya terhadap kesatuan-kesatuan Tartar, lebih dahulu kita berusaha mendapatkan gambaran mengenai keadaan yaitu medan di mana kesatuan-kesatuan baik dari Majapahit maupun dari Tartar. Keuntungan Majapahit adalah, bahwa prajurit Majapahit lebih mengenal keadaan medan yang bagi orang Tartar masih sangat asing.

Medan berbukit-bukit dan sebagian besar tersusun oleh tanah keras atau bongkah-bongkah karang. Di sebelah timur sungai diperkirakan keadaan tanahnya masih lunak, bahkan banyak yang merupakan rawa-rawa dan di dekat desa di sana-sini berupa tanah persawahan. Kalau ada jalan tentu jalan-jalan ini tidak dikeraskan dengan diberi dasar batu. Baik di barat maupun di timur sungai masih terdapat banyak hutan-hutan lebat. Betapa sukarnya daerah ini dilalui, apa lagi oleh suatu kesatuan militer yang besar, dapat kita perkirakan dari waktu yang diperlukan untuk menempuh jarak antara Pacekan sampai Kediri.

Dalam kronik Cina laporan Shih-pi menyebut, ia harus bertempur sepanjang kurang-lebih 300 li dari Kediri sampai ke kapal-kapalnya. Memang jarak antara Surabaya dan Kediri adalah kira-kira 130 kilometer lewat jalan berbelok-belok, kalau ditarik garis lempang dari Surabaya sampai Kediri kira-kira jarak itu adalah kurang-lebih 100 kilometer. Jarak Majapahit-Kediri yang kira-kira tujuhpuluh kilometer itu oleh kesatuan Tartar ditempuh dalam waktu 4 hari (tanggal 15 sampai 19) berjalan.

Jadi tiap harinya hanya dapat menyelesaikan jarak kira-kira 17 kilometer. Kalau sehari selama 2 hari masih terang mereka dapat berjalan kira-kira 9 jam, maka tiap jam kiranya dapat diselesaikan 2 km. Maka dari sini kita dapat membuat perkiraan, betapa beratnya keadaan medan pada waktu itu.Kronik Cina menyebut, Wijaya pada hari ke dua bulan ke empat diizinkan kembali ke Majapahit dengan pasukannya disertai oleh dua orang perwira Tartar dan 200 orang prajurit untuk menyiapkan persembahan bagi kaisar Tartar, jadi 13 hari setelah Kediri menyerah. Tanggal 9 Mei ia berangkat, sampai di Majapahit tanggal 13 Mei. Dengan diam-diam Wijaya menyiapkan pasukan dan rakyatnya.

Dalam Kronik cina disebutkan bahwa Kau Hsing yang sejak tanggal dikalahkannya Kediri mengejar seorang pangeran yang lari ke pegunungan sekembalinya ke Kediri baru mengetahui, bahwa Wijaya telah berangkat dengan ijin Shih-pi dan Ike Mese. Tindakan rekan-rekannya ini tidak disetujui oleh Kau Hsing, agaknya timbullah perselisihan antara para pembesar ini. Diperkirakan Kau Hsing berada di pegunungan selama dua minggu lebih, kita buat 16 hari. Maka ia diperkirakan kembali pada tanggal 14 Mei. Setelah mengumpulkan divisinya ia segera mengejar Wijaya yang telah sempat menyiapkan pasukan di tempat-tempat pengadangan.

Didalam Istana Majapahit sekarang timbul kesulitan yang harus dihadapi Majapahit terhadap pasukan Tartar. Dalam Kidung Wijayakrama dikisahkan bagaimana sikap yang harus diambil jika tentara Tartar yang menagih janji 2 orang putri Tumapel sebagai hadiah kepada Kaisar Tartar. Ketika Arya Wiaraja menanyakan hal tersebut semuanya terdiam, tidak berani menjawab. Ken Sora mengemukakan pendapat bahwa tidak baik memungkiri janji yang telah disepakati. Kemudian Ranggalawe bersuara lantang sesuai dengan wataknya

“ Jangan takut sang prabu, itu hanyalah soal kecil. Jika kita harus melawan kami bersedia mati sebagai pahlawan. Jika paduka takut berperang tidaklah masih layak hidup di dunia.

Ucapan Ranggalawe yang lantang tersebut membangkitkan semangat dan tekat semua yang hadir, semua setuju dan bersedia mati untuk sang Raja.

Akhirnya utusan Tartar telah datang dengan 200 orang pengiring lengkap dengan senjata dan menyerahkan surat untuk menagih janji. Setelah surat dibaca Ken Sora memberitahukan bahwa orang Majapahit tidak akan mengingkari janji yang telah disepakati tersebut. Namun demikian putri Singhasari tersebut sangat miris kalau melihat senjata karenanya putri bisa pingsan. Oleh karena itu simpanlah baik baik senjata kalian dalam bilik yang terkunci dan beritahukan kepada pasukan pengawal yang akan menjemput tuan Putri untuk tidak membawa senjata. Utusan kemudian kembali membawa pesan Ken Sora kepada kepala Pasukan.

300 orang Tartar kemudian datang menjemput tuan Putri, para pengawal dibawa masuk ke balai panjang untuk di jamu, para wanitanya dibawa oleh Arya Wiraraja kedalam istana. Ketika mereka sedang berpesta dengan serta merta pasukan Majapahit menyerang mereka. Banyak diantara mereka yang terbunuh, yang selamat kemudian ditawan.

Pada tanggal 19 April 1293 Raden Wijaya kemudian menyerang tentara Mongol yang sedang berpesta di Daha dan Canggu. Penyerangan tersebut dari arah utara dan selatan. Kota Kediri telah dikepung, sambil menangkis serangan dari arah selatan mereka bergerak menuju arah utara mendekati pantai tempat armadanya. Namun dari arah utarapun diserang juga sehingga tentara Tartar yang terdesak kemudian berbelok kearah barat . Pasukan Tartar yang masih tersisa tidak menyadari bahwa Raden Wijaya akan bertindak demikian Ike Mese memutuskan mundur setelah kehilangan 3.000 orang tentaranya.

Betapa hebatnya serangan Wijaya ini dapat kita perkirakan dari laporan lain yang menyebutkan, bahwa Shih-pi sampai terputus dari pasukan yang lain. Ini berarti bahwa daerah sepanjang jalan antara Kediri dan Ujunggaluh benar-benar dikuasai oleh pasukan dan rakyat Desa Majapahit. Shih-pi yang meninggalkan Kediri beberapa hari kemudian dan terputus dari pasukan yang lain terpaksa harus dengan bertempur membuka jalan menuju Pacekan dan Ujunggaluh yang dicapainya dengan susah-payah. Untuk mencapai kapal-kapalnya di muara sungai ia harus bertempur sepanjang jalan kira-kira 300 li, kira-kira 100 km. Ia kehilangan lebih dari 3000 orang tewas dalam pertempuran ini.

Ini dapat dibayangkan, bagaimana jalan pertempuran dan mengapa Shih-pi terpaksa harus menelan kekalahan. Kalau Kau Hsing yang memimpin divisi infanteri dengan pasukan perintisnya yang terlatih dapat mematahkan serangan Wijaya, maka pasukan berkuda Tartar yang berada dalam devisi Shih-pi merupakan makanan empuk bagi pasukan panah Majapahit, belum lagi kalau kuda-kuda ini dipancing masuk rawa-rawa maka orang-orang di atas kuda ini merupakan sasaran yang baik bagi anak panah Majapahit. Tiga ribu orang yang tewas ini kira-kira sabagian besar adalah dari kavaleri.

Shih-pi rupa-rupanya dengan tergesa-gesa masuk kapal, karena ia dikejar oleh pasukan Wijaya sampai dekat Pacekan, di Tegal Bobot Sari. Dari sini ia berlayar selama 68 hari kembali ke Cina dan mendarat di Chuan-chou. Kekekalahan bala tentara Mongol oleh orang-orang Jawa hingga kini tetap dikenang dalam sejarah Cina. Sebelumnya mereka nyaris tidak pernah kalah di dalam peperangan melawan bangsa mana pun di dunia. Selain di Jawa, pasukan Kublai Khanjuga pernah hancur saat akan menyerbu daratan Jepang.

Akan tetapi kehancuran ini bukan disebabkan oleh kekuatan militer bangsa Jepang melainkan oleh terpaan badai sangat kencang yang memporakporandakan armada kapal kerajaan dan membunuh hampir seluruh prajurit di atasnya. Setelah para panglima kembali berkumpul di Ujunggaluh, maka dalam perundingan diputuskan untuk kembali saja, karena tugas menghukum raja Jawa telah selesai, dan tidak ada gunanya untuk meneruskan pertempuran, karena mereka tak mengenal keadaan medan, mereka dapat terrpancing masuk rawa-rawa, di mana mereka tak bisa bergerak dan dengan mudah diserang oleh orang-orang Majapahit. Kiranya selain itu mereka juga memperhitungkan keadaan angin yang pada akhir bulan Mei biasanya sudah mulai meniup ke Barat (angin timur) dengan tetap. Selama kira-kira tiga bulan. Untuk bisa cepat sampai di Cina mereka harus segera berangkat, kalau mereka tidak ingin menjumpai rintangan berupa taifun atau angin yang tidak menentu. Maka mereka dapat sampai di Chuang Chou setelah 68 hari meninggalkan Jawa.

Juga kemungkinan kejangkitan wabah mereka perhitungkan. Kalau mereka lebih lama berada di rawa-rawa di muara sungai ini, dikuatirkan akan bertambahnya korban disebabkan oleh malaria dan penyakit lain. Maka diputuskan lebih baik kembali daripada menderita lebih banyak kerugian, untuk menghindari kegagalan total, karena tidak mengenal medan, penyakit dan kehancuran oleh tifun di laut. Menjelang akhir bulan Maret, yaitu di hari ke-24, seluruh pasukan Mongol kembali ke negara asalnya dengan membawa tawanan para bangsawan Singhasari ke Cina beserta ribuan hadiah bagi kaisar. Sebelum berangkat mereka menghukum mati Jayakatwang dan anaknya sebagai ungkapan rasa kesal atas ‘pemberontakan’ Raden Wijaya. Kitab Pararaton memberikan keterangan yang kontradiktif, disebutkan bahwa Jayakatwang bukan mati dibunuh orang-orang Mongol melainkan oleh Raden Wijaya sendiri, tidak lama setelah ibukota kerajaan Kadiri berhasil dihancurkan. Demikianlah tentara tartar tidak sempat mengatur siasat dan kehilangan begitu banyak tentaranya akhirnya meninggalkan Jawa tanggal 24 April 1293, dengan membawa pulang lebih dari 100 orang tawanan, peta, daftar penduduk, surat bertulis emas dari Bali, dan barang berharga lainnya yang bernilai sekitar 500.000 tahil perak.

Ternyata kegagalan Shih Pi menundukkan Jawa harus dibayar mahal olehnya. Iamenerima 17 kali cambukan atas perintah Kublai Khan, seluruh harta bendanyadirampas oleh kerajaan sebagai kompensasi atas peristiwa yang meredupkankebesaran nama bangsa Mongol tersebut. Ia dipersalahkan atas tewasnya 3.000lebih prajurit dalam ekspedisi menghukum Jawa tersebut. Selain itu, peristiwa ini mencoreng wajah Kublai Khan karena untuk kedua kalinya dipermalukan orang-orang Jawa setelah raja Kartanegara melukai wajah Meng Chi.
Namun sebagai raja yang tahu menghargai kesatriaan, tiga tahun kemudian nama baik Shih Pi direhabilitasi dan harta bendanya dikembalikan. Ia diberi hadiah jabatan tinggi dalam hirarkhi kerajaan Dinasti Yuan yang dinikmatinya sampai meninggal dalam usia 86 tahun.

Setelah kekalahan tentara mongol di Jawa karena siasat Raden Wijaya, Kubilai Khan tidak mengirimkan pasukan lagi ke AsiaTenggara. Hal tersebut dikarenakan dinasti Yuan sedang konsentrasi di dalam Negeri termasuk membangun ibukota khanbalik. pembangunan ibukota Khan balik ini yang membuat Mongol menjadi berunbah ada yang mengatakan menjadi lemah karena asalnya Mongol adalah suku pengembara. Pada tahun 1297 Raden Wijaya mengirim utusan ke Beijing untuk berdamai. Kublai Khan senang dan tidak lagi menuntut raja Jawa datang ke Beijing.

Akhirnya cita-cita Raden Wijaya untuk menjatuhkan Daha dan membalas sakit hatinya kepada Jayakatwang dapat diwujudkan dengan memanfaatkan tentara Tartar. Raden Wijaya kemudian memproklamirkan berdirinya sebuah kerajaan baru yang dinamakan Majapahit.


RAJA RAJA MAJAPAHIT

Raden Wijaya adalah pendiri kerajaan Majapahit tahun 1293 setelah berhasil mengalahkan Prabu Jayakatwang dari Kerajaan Kadiri dan berhasil memukul mundur pasukan Mongol dari tanah Jawa.. Untuk menggambarkan bagaimana pemerintahan Majapahit pada jaman pemerintahan Raden Wijaya dan Raja Raja selanjutnya berikut akan diutarakan terlebih dahulu Nama Raja – Raja yang memerintah dari tahun berdirinya Majapahit sampai berakhirnya kerajaan tersebut yang ditandai dengan tahun Candrasengkala yaitu Senja Ilang Kertaning Bumi.


1. Raden Wijaya, bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293 - 1309)
2. Kalagamet, bergelar Sri Jayanegara (1309 - 1328)
3. Sri Gitarja, bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 - 1350)
4. Hayam Wuruk, bergelar Sri Rajasanagara (1350 - 1389)
5. Wikramawardhana (1389 - 1429)
6. Suhita (1429 - 1447)
7. Kertawijaya, bergelar Brawijaya I (1447 - 1451)
8. Rajasawardhana, bergelar Brawijaya II (1451 - 1453)
9. Purwawisesa atau Girishawardhana, bergelar Brawijaya III (1456 - 1466)
10. Pandanalas, atau Suraprabhawa, bergelar Brawijaya IV (1466 - 1468)
11. Kertabumi, bergelar Brawijaya V (1468 - 1478)
12. Girindrawardhana, bergelar Brawijaya VI (1478 - 1498)
13. Hudhara, bergelar Brawijaya VII (1498-1518)

Perhatikan bahwa terdapat periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok.