Selasa, 24 Juli 2012

SEJARAH PEREKONOMIAN INDONESIA


  1. Kondisi Geografis
Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia telah dilihat sebagai contoh sukses ekonomi Asia Tenggara dan menjadi kekuatan industri baru, mengikuti jejak dari macan Asia (Hong Kong, Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan) . Meskipun perekonomian Indonesia tumbuh dengan kecepatan mengesankan selama tahun 1980 dan 1990-an, Indonesia mengalami kesulitan yang cukup berat setelah krisis keuangan tahun 1997, yang menyebabkan reformasi politik signifikan. perekonomian Indonesia pada saat ini pulih tetapi sulit untuk mengatakan ketika semua masalah yang akan dipecahkan. Meskipun Indonesia masih dapat dianggap sebagai bagian dari dunia berkembang, Indonesia memiliki masa lalu yang kaya dan serbaguna, dalam ekonomi serta arti budaya dan politik.

Dasar Fakta
Indonesia terletak di Asia Tenggara dan terdiri dari kepulauan besar di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik, dengan lebih dari 13.000 pulau. Pulau-pulau terbesar adalah Jawa, Kalimantan (bagian selatan dari pulau Borneo), Sumatra, Sulawesi, dan Papua (dahulu Irian Jaya, yang merupakan bagian barat dari Papua New Guinea). total luas lahan di Indonesia adalah 1,9 juta kilometer persegi (750.000 mil persegi). Luas tersebut tiga kali luas Texas, hampir delapan kali luas dari Britania Raya dan waktu kira-kira lima puluh wilayah Belanda. Indonesia memiliki iklim tropis, tetapi karena ada membentang besar dataran rendah dan daerah pegunungan banyak, iklim bervariasi dari panas dan lembab untuk lebih moderat di dataran tinggi. Selain lahan subur cocok untuk pertanian, Indonesia kaya berbagai sumber daya alam, bervariasi dari minyak bumi, gas alam, dan batubara, hingga logam seperti timah, bauksit, nikel, tembaga, emas, dan perak. Ukuran penduduk Indonesia adalah sekitar 230 juta (2002), dimana saham terbesar (sekitar 60%) tinggal di Jawa.
Selain itu, orang sering membaca tentang "kesatuan dalam keragaman." Ini bukan hanya slogan politik diulang di berbagai kali oleh pemerintah Indonesia sendiri, tetapi juga dapat diterapkan untuk heterogenitas dalam fitur nasional negara ini sangat besar dan beragam. Logikanya, masalah-masalah politik yang timbul dari suatu negara bangsa heterogen memiliki (negatif) mereka dampak pada perkembangan ekonomi nasional. Perbedaan yang paling mencolok adalah antara Jawa padat penduduknya, yang memiliki tradisi panjang politik dan ekonomi mendominasi Kepulauan Luar jarang penduduknya. Tapi juga di Jawa dan di dalam Kepulauan berbagai Luar, satu bertemu dengan keragaman budaya yang kaya. perbedaan ekonomi antara pulau bertahan. Namun demikian, selama berabad-abad, perdagangan antar berkembang dan giat memiliki manfaat integrasi regional dalam nusantara.

  1. Kondisi Perekonomian Indonesia
Pasca-periode 1945
Setelah kemerdekaan, perekonomian Indonesia telah pulih dari kesulitan pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan (1945-1949), di atas pemulihan lambat dari Depresi tahun 1930-an. Selama periode 1949-1965, terjadi pertumbuhan ekonomi kecil, terutama di tahun 1950-1957. Pada tahun 1958-1965, tingkat pertumbuhan menyusut, sebagian besar karena ketidakstabilan politik dan tidak sesuai langkah-langkah kebijakan ekonomi. Awal ragu-ragu demokrasi ditandai dengan perebutan kekuasaan antara presiden, tentara, partai komunis dan kelompok-kelompok politik lainnya. masalah kurs dan tidak adanya modal asing yang merugikan pembangunan ekonomi, setelah pemerintah telah dieliminasi semua kontrol ekonomi asing di sektor swasta di 1957-1958. Sukarno ditujukan untuk swasembada dan substitusi impor dan terasing pemasok modal barat bahkan lebih ketika ia mengembangkan simpati komunis.
Setelah tahun 1966, presiden kedua, Soeharto umum, memulihkan aliran modal barat, membawa kembali stabilitas politik dengan peranan yang kuat untuk tentara, dan memimpin Indonesia ke periode ekspansi ekonomi di bawah rezim otoriter nya (Orde Baru) Orde Baru yang berlangsung sampai 1997 (lihat di bawah untuk tiga tahapan Orde Baru). Dalam periode output industri meningkat dengan cepat, termasuk baja, aluminium, dan semen tetapi juga produk-produk seperti makanan, tekstil dan rokok. Dari tahun 1970-an dan seterusnya harga minyak meningkat di pasar dunia yang disediakan Indonesia dengan penghasilan yang besar dari ekspor minyak dan gas. ekspor kayu bergeser dari kayu untuk kayu lapis, pulp, dan kertas, dengan harga cukup luas hutan hujan lingkungan berharga.
Soeharto berhasil menerapkan bagian dari pendapatan untuk pengembangan industri manufaktur berteknologi maju. Mengacu pada periode ini pertumbuhan ekonomi yang stabil, Laporan Bank Dunia tahun 1993 berbicara tentang sebuah 'Keajaiban Asia Timur' menekankan pada stabilitas makroekonomi dan investasi dalam modal manusia (World Bank 1993: vi).
Krisis keuangan pada tahun 1997 menunjukkan sejumlah kelemahan yang tersembunyi dalam perekonomian seperti sistem keuangan yang lemah (dengan kurangnya transparansi), investasi tidak menguntungkan dalam real estat, dan kekurangan dalam sistem hukum. Korupsi berkembang di semua tingkatan birokrasi pemerintah menjadi dikenal secara luas sebagai KKN (Korupsi, kolusi, nepotisme). Praktek ini ciri-kedatangan-usia yang lama 32 tahun, rezim sangat sentralistik, otokratik Soeharto.
Pengembangan kebijakan dan perencanaan ekonomi selama periode 'Orde Baru'
Soeharto menolak mobilisasi politik dan ideologi sosialis, dan mendirikan rezim dikontrol ketat yang putus asa penyelidikan intelektual, tapi menempatkan perekonomian Indonesia kembali pada rel. Baru arus investasi asing dan program-program bantuan asing tertarik, pertumbuhan penduduk yang tak terkendali berkurang akibat program keluarga berencana, dan transformasi berlangsung dari ekonomi didominasi pertanian ke ekonomi industrialisasi. Thee Kian Wie membedakan tiga tahap dalam periode ini, yang masing-masing layak studi lebih lanjut:
1.      1966-1973: stabilisasi, rehabilitasi, liberalisasi parsial dan pemulihan ekonomi;
2.      1974-1982: booming minyak, pertumbuhan ekonomi yang cepat, dan meningkatnya   intervensi pemerintah;
3.      1983-1996: pertumbuhan pasca boom minyak, deregulasi, liberalisasi diperbaharui (dalam reaksi terhadap penurunan harga minyak), dan cepat yang dipicu ekspor. Selama tahap terakhir, komentator (termasuk ekonom akademik) semakin prihatin tentang korupsi berkembang di semua tingkat birokrasi pemerintah: KKN (Korupsi, kolusi, nepotisme) praktek, karena mereka kemudian menjadi dikenal (Thee 2002: 203-215).
Keuangan, krisis ekonomi
Krisis keuangan tahun 1997 dimulai dengan krisis kepercayaan menyusul depresiasi baht Thailand pada bulan Juli 1997. Core faktor penyebab krisis ekonomi berikutnya di Indonesia adalah kuasi-kurs tetap rupiah, cepat naik utang luar negeri jangka pendek dan sistem keuangan yang lemah. keparahan nya harus dihubungkan dengan faktor-faktor politik juga: krisis moneter (krismon) mengarah ke krisis total (Kristal) karena respon kebijakan gagal rezim Soeharto. Soeharto telah berkuasa selama 32 tahun dan pemerintahannya telah menjadi sangat terpusat dan korup dan tidak mampu mengatasi krisis secara kredibel. Asal-usul, konsekuensi ekonomi, dan dampak sosial-ekonomi dari krisis masih dalam pembahasan. (Thee 2003: 231-237; Arndt dan Hill 1999).
Orde Baru/ Orba (Demokrasi Pancasila)
Pada masa orde baru, pemerintah menjalankan kebijakan yang tidak mengalami perubahan terlalu signifikan selama 32 tahun. Dikarenakan pada masa itu pemerintah sukses menghadirkan suatu stablilitas politik sehingga mendukung terjadinya stabilitas ekonomi. Karena hal itulah maka pemerintah jarang sekali melakukan perubahan-perubahan kebijakan terutama dalam hal anggaran negara.
Pada masa pemerintahan orde baru, kebijakan ekonominya berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi. Kebijakan ekonomi tersebut didukung oleh kestabilan politik yang dijalankan oleh pemerintah. Hal tersebut dituangkan ke dalam jargon kebijakan ekonomi yang disebut dengan Trilogi Pembangungan, yaitu stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi yang stabil, dan pemerataan pembangunan.
Hal ini berhasil karena selama lebih dari 30 tahun, pemerintahan mengalami stabilitas politik sehingga menunjang stabilitas ekonomi. Kebijakan-kebijakan ekonomi pada masa itu dituangkan pada Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN), yang pada akhirnya selalu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk disahkan menjadi APBN.
APBN pada masa pemerintahan Orde Baru, disusun berdasarkan asumsi-asumsi perhitungan dasar. Yaitu laju pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, harga ekspor minyak mentah Indonesia, serta nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Asumsi-asumsi dasar tersebut dijadikan sebagai ukuran fundamental ekonomi nasional. Padahal sesungguhnya, fundamental ekonomi nasional tidak didasarkan pada perhitungan hal-hal makro. Akan tetapi, lebih kearah yang bersifat mikro-ekonomi. Misalnya, masalah-masalah dalam dunia usaha, tingkat resiko yang tinggi, hingga penerapan dunia swasta dan BUMN yang baik dan bersih. Oleh karena itu pemerintah selalu dihadapkan pada kritikan yang menyatakan bahwa penetapan asumsi APBN tersebut tidaklah realistis sesuai keadaan yang terjadi.
Format APBN pada masa Orde baru dibedakan dalam penerimaan dan pengeluaran. Penerimaan terdiri dari penerimaan rutin dan penerimaan pembangunan serta pengeluaran terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Sirkulasi anggaran dimulai pada 1 April dan berakhir pada 31 Maret tahun berikutnya. Kebijakan yang disebut tahun fiskal ini diterapkan seseuai dengan masa panen petani, sehingga menimbulkan kesan bahwa kebijakan ekonomi nasional memperhatikan petani.
APBN pada masa itu diberlakukan atas dasar kebijakan prinsip berimbang, yaitu anggaran penerimaan yang disesuaikan dengan anggaran pengeluaran sehingga terdapat jumlah yang sama antara penerimaan dan pengeluaran. Hal perimbangan tersebut sebetulnya sangat tidak mungkin, karena pada masa itu pinjaman luar negeri selalu mengalir. Pinjaman-pinjaman luar negeri inilah yang digunakan pemerintah untuk menutup anggaran yang defisit.
Ini artinya pinjaman-pinjaman luar negeri tersebut ditempatkan pada anggaran penerimaan. Padahal seharusnya pinjaman-pinjaman tersebut adalah utang yang harus dikembalikan, dan merupakan beban pengeluaran di masa yang akan datang. Oleh karena itu, pada dasarnya APBN pada masa itu selalu mengalami defisit anggaran.
Penerapan kebijakan tersebut menimbulkan banyak kritik, karena anggaran defisit negara ditutup dengan pinjaman luar negeri. Padahal, konsep yang benar adalah pengeluaran pemerintah dapat ditutup dengan penerimaan pajak dalam negeri. Sehingga antara penerimaan dan pengeluaran dapat berimbang. Permasalahannya, pada masa itu penerimaan pajak saat minim sehingga tidak dapat menutup defisit anggaran.
Namun prinsip berimbang ini merupakan kunci sukses pemerintah pada masa itu untuk mempertahankan stabilitas, khususnya di bidang ekonomi. Karena pemerintah dapat menghindari terjadinya inflasi, yang sumber pokoknya karena terjadi anggaran yang defisit. Sehingga pembangunanpun terus dapat berjalan.
Prinsip lain yang diterapkan pemerintah Orde Baru adalah prinsip fungsional. Prinsip ini merupakan pengaturan atas fungsi anggaran pembangunan dimana pinjaman luar negeri hanya digunakan untuk membiayai anggaran belanja pembangunan. Karena menurut pemerintah, pembangunan memerlukan dana investasi yang besar dan tidak dapat seluruhnya dibiayai oleh sumber dana dalam negeri.
Pada dasarnya kebijakan ini sangat bagus, karena pinjaman yang digunakan akan membuahkan hasil yang nyata. Akan tetapi, dalam APBN tiap tahunnya cantuman angka pinjaman luar negeri selalu meningkat. Hal ini bertentangan dengan keinginan pemerintah untuk selalu meningkatkan penerimaan dalam negeri. Dalam Keterangan Pemerintah tentang RAPBN tahun 1977, Presiden menyatakan bahwa dana-dana pembiayaan yang bersumber dari dalam negeri harus meningkat. Padahal, ketergantungan yang besar terhadap pinjaman luar negeri akan menimbulkan akibat-akibat. Diantaranya akan menyebabkan berkurangnya pertumbuhan ekonomi.
Hal lain yang dapat terjadi adalah pemerataan ekonomi tidak akan terwujud. Sehingga yang terjadi hanya perbedaan penghasilan. Selain itu pinjaman luar negeri yang banyak akan menimbulkan resiko kebocoran, korupsi, dan penyalahgunaan. Dan lebih parahnya lagi ketergantungan tersebut akan menyebabkan negara menjadi malas untuk berusaha meningkatkan penerimaan dalam negeri.
Prinsip ketiga yang diterapakan oleh pemerintahan Orde Baru dalam APBN adalah, dinamis yang berarti peningkatan tabungan pemerintah untuk membiayai pembangunan. Dalam hal ini pemerintah akan berupaya untuk mendapatkan kelebihan pendapatan yang telah dikurangi dengan pengeluaran rutin, agar dapat dijadikan tabungan pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah dapat memanfaatkan tabungan tersebut untuk berinvestasi dalam pembangunan.
Kebijakan pemerintah ini dilakukan dengan dua cara, yaitu derelgulasi perbankan dan reformasi perpajakan. Akan tetapi, kebijakan demikian membutuhkan waktu dan proses yang cukup lama. Akibatnya, kebijakan untuk mengurangi bantuan luar negeri tidak dapat terjadi karena jumlah pinjaman luar negeri terus meningkat. Padahal disaat yang bersamaan persentase pengeluaran rutin untuk membayar pinjaman luar negeri terus meningkat. Hal ini jelas menggambarkan betapa APBN pada masa pemerintahan Orde Baru sangat bergantung pada pinjaman luar negeri. Sehingga pada akhirnya berakibat tidak dapat terpenuhinya keinginan pemerintah untuk meningkatkan tabungannya.

  
Daftar Pustaka
Departemen Pertanian. 1993. Presiden Soeharto dan Pembangunan Pertanian. Jakarta : PT Citra Media Persada.
http://eh.net/encyclopedia/article/touwen.indonesia diakses pada tanggal 12 Desember 2010 pukul 23.00 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar