- Kondisi Geografis
Dalam beberapa dekade terakhir,
Indonesia telah dilihat sebagai contoh sukses ekonomi Asia Tenggara dan menjadi
kekuatan industri baru, mengikuti jejak dari macan Asia (Hong Kong, Singapura,
Korea Selatan, dan Taiwan) . Meskipun perekonomian Indonesia tumbuh dengan
kecepatan mengesankan selama tahun 1980 dan 1990-an, Indonesia mengalami
kesulitan yang cukup berat setelah krisis keuangan tahun 1997, yang menyebabkan
reformasi politik signifikan. perekonomian Indonesia pada saat ini pulih tetapi
sulit untuk mengatakan ketika semua masalah yang akan dipecahkan. Meskipun
Indonesia masih dapat dianggap sebagai bagian dari dunia berkembang, Indonesia
memiliki masa lalu yang kaya dan serbaguna, dalam ekonomi serta arti budaya dan
politik.
Dasar Fakta
Indonesia
terletak di Asia Tenggara dan terdiri dari kepulauan besar di antara Samudra
Hindia dan Samudra Pasifik, dengan lebih dari 13.000 pulau. Pulau-pulau
terbesar adalah Jawa, Kalimantan (bagian selatan dari pulau Borneo), Sumatra,
Sulawesi, dan Papua (dahulu Irian Jaya, yang merupakan bagian barat dari Papua New
Guinea). total luas lahan di Indonesia adalah 1,9 juta kilometer persegi
(750.000 mil persegi). Luas tersebut tiga kali luas Texas, hampir delapan kali
luas dari Britania Raya dan waktu kira-kira lima puluh wilayah Belanda.
Indonesia memiliki iklim tropis, tetapi karena ada membentang besar dataran
rendah dan daerah pegunungan banyak, iklim bervariasi dari panas dan lembab
untuk lebih moderat di dataran tinggi. Selain lahan subur cocok untuk
pertanian, Indonesia kaya berbagai sumber daya alam, bervariasi dari minyak
bumi, gas alam, dan batubara, hingga logam seperti timah, bauksit, nikel,
tembaga, emas, dan perak. Ukuran
penduduk Indonesia adalah sekitar 230 juta (2002), dimana saham terbesar
(sekitar 60%) tinggal di Jawa.
Selain itu, orang sering membaca
tentang "kesatuan dalam keragaman." Ini bukan hanya slogan politik
diulang di berbagai kali oleh pemerintah Indonesia sendiri, tetapi juga
dapat diterapkan untuk heterogenitas dalam fitur nasional negara ini sangat
besar dan beragam. Logikanya,
masalah-masalah politik yang timbul dari suatu negara bangsa heterogen memiliki
(negatif) mereka dampak pada perkembangan ekonomi nasional. Perbedaan yang
paling mencolok adalah antara Jawa padat penduduknya, yang memiliki tradisi
panjang politik dan ekonomi mendominasi Kepulauan Luar jarang penduduknya. Tapi
juga di Jawa dan di dalam Kepulauan berbagai Luar, satu bertemu dengan
keragaman budaya yang kaya. perbedaan ekonomi antara pulau bertahan. Namun
demikian, selama berabad-abad, perdagangan antar berkembang dan giat memiliki
manfaat integrasi regional dalam nusantara.
- Kondisi Perekonomian Indonesia
Pasca-periode 1945
Setelah
kemerdekaan, perekonomian Indonesia telah pulih dari kesulitan pendudukan
Jepang dan perang kemerdekaan (1945-1949), di atas pemulihan lambat dari
Depresi tahun 1930-an. Selama periode 1949-1965, terjadi pertumbuhan ekonomi
kecil, terutama di tahun 1950-1957. Pada tahun 1958-1965, tingkat pertumbuhan
menyusut, sebagian besar karena ketidakstabilan politik dan tidak sesuai
langkah-langkah kebijakan ekonomi. Awal ragu-ragu demokrasi ditandai dengan
perebutan kekuasaan antara presiden, tentara, partai komunis dan
kelompok-kelompok politik lainnya. masalah kurs dan tidak adanya modal asing
yang merugikan pembangunan ekonomi, setelah pemerintah telah dieliminasi semua
kontrol ekonomi asing di sektor swasta di 1957-1958. Sukarno ditujukan untuk
swasembada dan substitusi impor dan terasing pemasok modal barat bahkan lebih
ketika ia mengembangkan simpati komunis.
Setelah
tahun 1966, presiden kedua, Soeharto umum, memulihkan aliran modal barat,
membawa kembali stabilitas politik dengan peranan yang kuat untuk tentara, dan
memimpin Indonesia ke periode ekspansi ekonomi di bawah rezim otoriter nya
(Orde Baru) Orde Baru yang berlangsung sampai 1997 (lihat di bawah untuk tiga
tahapan Orde Baru). Dalam periode output industri meningkat dengan cepat,
termasuk baja, aluminium, dan semen tetapi juga produk-produk seperti makanan,
tekstil dan rokok. Dari tahun 1970-an dan seterusnya harga minyak meningkat di
pasar dunia yang disediakan Indonesia dengan penghasilan yang besar dari ekspor
minyak dan gas. ekspor kayu bergeser dari kayu untuk kayu lapis, pulp, dan
kertas, dengan harga cukup luas hutan hujan lingkungan berharga.
Soeharto
berhasil menerapkan bagian dari pendapatan untuk pengembangan industri
manufaktur berteknologi maju. Mengacu pada periode ini pertumbuhan ekonomi yang
stabil, Laporan Bank Dunia tahun 1993 berbicara tentang sebuah 'Keajaiban Asia
Timur' menekankan pada stabilitas makroekonomi dan investasi dalam modal
manusia (World Bank 1993: vi).
Krisis
keuangan pada tahun 1997 menunjukkan sejumlah kelemahan yang tersembunyi dalam
perekonomian seperti sistem keuangan yang lemah (dengan kurangnya
transparansi), investasi tidak menguntungkan dalam real estat, dan kekurangan
dalam sistem hukum. Korupsi berkembang di semua tingkatan birokrasi pemerintah
menjadi dikenal secara luas sebagai KKN (Korupsi, kolusi, nepotisme). Praktek
ini ciri-kedatangan-usia yang lama 32 tahun, rezim sangat sentralistik,
otokratik Soeharto.
Pengembangan kebijakan dan
perencanaan ekonomi selama periode 'Orde Baru'
Soeharto
menolak mobilisasi politik dan ideologi sosialis, dan mendirikan rezim
dikontrol ketat yang putus asa penyelidikan intelektual, tapi menempatkan
perekonomian Indonesia kembali pada rel. Baru arus investasi asing dan
program-program bantuan asing tertarik, pertumbuhan penduduk yang tak
terkendali berkurang akibat program keluarga berencana, dan transformasi
berlangsung dari ekonomi didominasi pertanian ke ekonomi industrialisasi. Thee
Kian Wie membedakan tiga tahap dalam periode ini, yang masing-masing layak
studi lebih lanjut:
1. 1966-1973: stabilisasi, rehabilitasi,
liberalisasi parsial dan pemulihan ekonomi;
2. 1974-1982: booming minyak, pertumbuhan
ekonomi yang cepat, dan meningkatnya intervensi
pemerintah;
3. 1983-1996: pertumbuhan pasca boom minyak,
deregulasi, liberalisasi diperbaharui (dalam reaksi terhadap penurunan harga
minyak), dan cepat yang dipicu ekspor. Selama tahap terakhir, komentator
(termasuk ekonom akademik) semakin prihatin tentang korupsi berkembang di semua
tingkat birokrasi pemerintah: KKN (Korupsi, kolusi, nepotisme) praktek, karena
mereka kemudian menjadi dikenal (Thee 2002: 203-215).
Keuangan, krisis ekonomi
Krisis
keuangan tahun 1997 dimulai dengan krisis kepercayaan menyusul depresiasi baht
Thailand pada bulan Juli 1997. Core faktor penyebab krisis ekonomi berikutnya
di Indonesia adalah kuasi-kurs tetap rupiah, cepat naik utang luar negeri
jangka pendek dan sistem keuangan yang lemah. keparahan nya harus dihubungkan
dengan faktor-faktor politik juga: krisis moneter (krismon) mengarah ke krisis
total (Kristal) karena respon kebijakan gagal rezim Soeharto. Soeharto telah berkuasa
selama 32 tahun dan pemerintahannya telah menjadi sangat terpusat dan korup dan
tidak mampu mengatasi krisis secara kredibel. Asal-usul, konsekuensi ekonomi,
dan dampak sosial-ekonomi dari krisis masih dalam pembahasan. (Thee 2003:
231-237; Arndt dan Hill 1999).
Orde
Baru/ Orba (Demokrasi Pancasila)
Pada masa
orde baru, pemerintah menjalankan kebijakan yang tidak mengalami perubahan
terlalu signifikan selama 32 tahun. Dikarenakan pada masa itu pemerintah sukses
menghadirkan suatu stablilitas politik sehingga mendukung terjadinya stabilitas
ekonomi. Karena hal itulah maka pemerintah jarang sekali melakukan
perubahan-perubahan kebijakan terutama dalam hal anggaran negara.
Pada masa
pemerintahan orde baru, kebijakan ekonominya berorientasi kepada pertumbuhan
ekonomi. Kebijakan ekonomi tersebut didukung oleh kestabilan politik yang
dijalankan oleh pemerintah. Hal tersebut dituangkan ke dalam jargon kebijakan
ekonomi yang disebut dengan Trilogi Pembangungan, yaitu stabilitas politik,
pertumbuhan ekonomi yang stabil, dan pemerataan pembangunan.
Hal ini
berhasil karena selama lebih dari 30 tahun, pemerintahan mengalami stabilitas
politik sehingga menunjang stabilitas ekonomi. Kebijakan-kebijakan ekonomi pada
masa itu dituangkan pada Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(RAPBN), yang pada akhirnya selalu disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
untuk disahkan menjadi APBN.
APBN pada
masa pemerintahan Orde Baru, disusun berdasarkan asumsi-asumsi perhitungan
dasar. Yaitu laju pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, harga ekspor minyak
mentah Indonesia, serta nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika.
Asumsi-asumsi dasar tersebut dijadikan sebagai ukuran fundamental ekonomi
nasional. Padahal sesungguhnya, fundamental ekonomi nasional tidak didasarkan
pada perhitungan hal-hal makro. Akan tetapi, lebih kearah yang bersifat
mikro-ekonomi. Misalnya, masalah-masalah dalam dunia usaha, tingkat resiko yang
tinggi, hingga penerapan dunia swasta dan BUMN yang baik dan bersih. Oleh
karena itu pemerintah selalu dihadapkan pada kritikan yang menyatakan bahwa
penetapan asumsi APBN tersebut tidaklah realistis sesuai keadaan yang terjadi.
Format APBN
pada masa Orde baru dibedakan dalam penerimaan dan pengeluaran. Penerimaan
terdiri dari penerimaan rutin dan penerimaan pembangunan serta pengeluaran
terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Sirkulasi anggaran
dimulai pada 1 April dan berakhir pada 31 Maret tahun berikutnya. Kebijakan
yang disebut tahun fiskal ini diterapkan seseuai dengan masa panen petani,
sehingga menimbulkan kesan bahwa kebijakan ekonomi nasional memperhatikan
petani.
APBN pada
masa itu diberlakukan atas dasar kebijakan prinsip berimbang, yaitu anggaran
penerimaan yang disesuaikan dengan anggaran pengeluaran sehingga terdapat
jumlah yang sama antara penerimaan dan pengeluaran. Hal perimbangan tersebut
sebetulnya sangat tidak mungkin, karena pada masa itu pinjaman luar negeri
selalu mengalir. Pinjaman-pinjaman luar negeri inilah yang digunakan pemerintah
untuk menutup anggaran yang defisit.
Ini artinya
pinjaman-pinjaman luar negeri tersebut ditempatkan pada anggaran penerimaan.
Padahal seharusnya pinjaman-pinjaman tersebut adalah utang yang harus
dikembalikan, dan merupakan beban pengeluaran di masa yang akan datang. Oleh
karena itu, pada dasarnya APBN pada masa itu selalu mengalami defisit anggaran.
Penerapan
kebijakan tersebut menimbulkan banyak kritik, karena anggaran defisit negara
ditutup dengan pinjaman luar negeri. Padahal, konsep yang benar adalah
pengeluaran pemerintah dapat ditutup dengan penerimaan pajak dalam negeri.
Sehingga antara penerimaan dan pengeluaran dapat berimbang. Permasalahannya,
pada masa itu penerimaan pajak saat minim sehingga tidak dapat menutup defisit
anggaran.
Namun
prinsip berimbang ini merupakan kunci sukses pemerintah pada masa itu untuk
mempertahankan stabilitas, khususnya di bidang ekonomi. Karena pemerintah dapat
menghindari terjadinya inflasi, yang sumber pokoknya karena terjadi anggaran
yang defisit. Sehingga pembangunanpun terus dapat berjalan.
Prinsip
lain yang diterapkan pemerintah Orde Baru adalah prinsip fungsional. Prinsip
ini merupakan pengaturan atas fungsi anggaran pembangunan dimana pinjaman luar
negeri hanya digunakan untuk membiayai anggaran belanja pembangunan. Karena
menurut pemerintah, pembangunan memerlukan dana investasi yang besar dan tidak
dapat seluruhnya dibiayai oleh sumber dana dalam negeri.
Pada
dasarnya kebijakan ini sangat bagus, karena pinjaman yang digunakan akan
membuahkan hasil yang nyata. Akan tetapi, dalam APBN tiap tahunnya cantuman
angka pinjaman luar negeri selalu meningkat. Hal ini bertentangan dengan
keinginan pemerintah untuk selalu meningkatkan penerimaan dalam negeri. Dalam
Keterangan Pemerintah tentang RAPBN tahun 1977, Presiden menyatakan bahwa
dana-dana pembiayaan yang bersumber dari dalam negeri harus meningkat. Padahal,
ketergantungan yang besar terhadap pinjaman luar negeri akan menimbulkan
akibat-akibat. Diantaranya akan menyebabkan
berkurangnya pertumbuhan ekonomi.
Hal lain
yang dapat terjadi adalah pemerataan ekonomi tidak akan terwujud. Sehingga yang
terjadi hanya perbedaan penghasilan. Selain itu pinjaman luar negeri yang
banyak akan menimbulkan resiko kebocoran, korupsi, dan penyalahgunaan. Dan
lebih parahnya lagi ketergantungan tersebut akan menyebabkan negara menjadi
malas untuk berusaha meningkatkan penerimaan dalam negeri.
Prinsip
ketiga yang diterapakan oleh pemerintahan Orde Baru dalam APBN adalah, dinamis
yang berarti peningkatan tabungan pemerintah untuk membiayai pembangunan. Dalam
hal ini pemerintah akan berupaya untuk mendapatkan kelebihan pendapatan yang
telah dikurangi dengan pengeluaran rutin, agar dapat dijadikan tabungan
pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah dapat memanfaatkan tabungan tersebut
untuk berinvestasi dalam pembangunan.
Kebijakan
pemerintah ini dilakukan dengan dua cara, yaitu derelgulasi perbankan dan
reformasi perpajakan. Akan tetapi, kebijakan demikian membutuhkan waktu dan
proses yang cukup lama. Akibatnya, kebijakan untuk mengurangi bantuan luar
negeri tidak dapat terjadi karena jumlah pinjaman luar negeri terus meningkat. Padahal disaat yang bersamaan persentase
pengeluaran rutin untuk membayar pinjaman luar negeri terus meningkat. Hal ini
jelas menggambarkan betapa APBN pada masa pemerintahan Orde Baru sangat
bergantung pada pinjaman luar negeri. Sehingga pada akhirnya berakibat tidak
dapat terpenuhinya keinginan pemerintah untuk meningkatkan tabungannya.
Daftar Pustaka
Departemen Pertanian. 1993. Presiden Soeharto dan Pembangunan Pertanian.
Jakarta : PT Citra Media Persada.
http://eh.net/encyclopedia/article/touwen.indonesia
diakses pada tanggal 12 Desember 2010 pukul 23.00 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar